Search

Urgensi Penerapan K3 pada Sektor Informal

Penulis. (Berita Alternatif via penulis)

Oleh: Rifani Amar Al Khairi*

Setiap hari, lebih dari 86 juta pekerja sektor informal berkontribusi terhadap roda ekonomi Indonesia. Mereka mencakup nelayan, petani, pedagang kaki lima, buruh bangunan, hingga pengolah batu kapur. Tanpa mereka, pasokan pangan, bahan bangunan, dan layanan masyarakat tidak akan berjalan dengan baik. Namun, ironisnya, keberadaan mereka sering kali tidak terlindungi secara memadai dari risiko kerja.

Sistem perlindungan tenaga kerja di Indonesia masih berfokus pada sektor formal, sementara sektor informal—yang justru menjadi tulang punggung ekonomi rakyat—masih terpinggirkan dalam hal jaminan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

Data dari BPJS Ketenagakerjaan (2023) melaporkan lebih dari 370 ribu kasus kecelakaan kerja dengan klaim manfaat mencapai Rp 3,02 triliun. Mayoritas laporan tersebut berasal dari sektor formal, sedangkan pekerja informal sebagian besar tidak terdata.

Hingga tahun 2023, hanya sekitar 11 persen pekerja informal yang terdaftar dalam program BPJS Ketenagakerjaan. Angka ini menunjukkan betapa luasnya kesenjangan perlindungan sosial di Indonesia. Artinya, jutaan kasus kecelakaan di sektor informal berpotensi tidak tercatat dan tidak mendapatkan kompensasi, meninggalkan para pekerja dalam kondisi ekonomi dan fisik yang rentan.

Penelitian oleh Ramajayanti et al. (2023) dalam Jurnal Jurmakemas di Aceh Barat menemukan bahwa nelayan menghadapi berbagai risiko kerja seperti kebisingan mesin, paparan sinar matahari ekstrem, luka akibat alat tangkap, dan bahaya tenggelam.

Bahkan, tidak sedikit nelayan yang bekerja tanpa pelampung, sarung tangan, atau Alat Pelindung Diri (APD) lain, hanya mengandalkan pengalaman turun-temurun. Ini menunjukkan bahwa budaya keselamatan masih sangat lemah, diperparah oleh keterbatasan ekonomi dan minimnya pengawasan.

Di sisi lain, studi Sukismanto et al. (2023) dalam Jurnal Bidang Ilmu Kesehatan di Gunungkidul menunjukkan bahwa pekerja pengolah batu kapur mengalami paparan debu intensif dan posisi kerja yang tidak ergonomis. Kondisi kerja seperti ini memicu gangguan pernapasan, nyeri punggung bawah, serta risiko penyakit kronis lainnya.

Pekerja informal di sektor ini sering bekerja tanpa masker, tanpa pelindung mata, dan tanpa pelatihan mengenai cara kerja aman. Fenomena ini bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga cerminan ketidaksetaraan struktural dalam sistem perlindungan tenaga kerja di Indonesia.

Kendala utama dalam penerapan manajemen K3 di sektor informal disebabkan oleh beberapa faktor mendasar. Pertama, regulasi K3 nasional lebih banyak ditujukan pada sektor formal yang terikat kontrak kerja dan memiliki badan hukum.

Sementara itu, pekerja informal beroperasi di ruang yang sering disebut “zona abu-abu hukum ketenagakerjaan”—tidak termasuk dalam kewajiban perusahaan, namun juga tidak dijangkau oleh sistem pengawasan pemerintah.

Kedua, literasi K3 di kalangan pekerja informal masih rendah, sebagian besar belum memahami pentingnya penggunaan APD atau prinsip kerja aman.

Ketiga, keterbatasan ekonomi menyebabkan banyak pekerja enggan membayar iuran jaminan sosial, karena penghasilan harian mereka sudah pas-pasan untuk kebutuhan dasar.

Selain itu, sarana pembinaan seperti Pos Upaya Kesehatan Kerja (Pos UKK) yang seharusnya menjadi pusat edukasi, promosi kesehatan kerja, dan deteksi dini penyakit akibat kerja, belum berjalan efektif dan sering kekurangan tenaga atau fasilitas.

Dalam konteks ini, penerapan K3 di sektor informal bukan sekadar urusan teknis, melainkan bagian dari penghormatan terhadap hak asasi manusia. Setiap orang yang bekerja, tanpa memandang status atau jenis pekerjaannya, memiliki hak yang sama untuk pulang dengan selamat. Keselamatan kerja seharusnya menjadi hak universal, bukan privilese yang hanya dimiliki oleh mereka yang bekerja di perusahaan besar.

Pemerintah perlu mengubah paradigma dalam merancang kebijakan K3 agar lebih inklusif dan pro-rakyat. Program seperti BPJS Ketenagakerjaan harus disinergikan dengan pemerintah daerah, LSM, dan komunitas lokal untuk menjangkau kelompok pekerja informal.

Subsidi iuran atau skema mikroasuransi berbasis komunitas dapat menjadi solusi agar pekerja informal memiliki perlindungan dasar tanpa merasa terbebani. Selain itu, edukasi K3 berbasis komunitas perlu diperkuat dengan melibatkan tokoh masyarakat, aparat desa, serta organisasi profesi lokal agar pesan keselamatan kerja dapat diterima dengan lebih efektif.

Lebih jauh lagi, penguatan Pos UKK harus menjadi prioritas. Pos ini dapat berperan sebagai pusat pemberdayaan dan edukasi bagi pekerja informal, memberikan pelatihan penggunaan alat pelindung diri, ergonomi kerja sederhana, serta pemeriksaan kesehatan rutin. Dengan melibatkan puskesmas dan kader kesehatan masyarakat, pembinaan K3 dapat dilakukan secara berkelanjutan dan berbasis kebutuhan lokal.

Selain pemerintah, sektor swasta juga memiliki tanggung jawab moral dan sosial. Banyak perusahaan besar yang bergantung pada rantai pasok dari sektor informal, seperti pemasok bahan baku atau jasa transportasi.

Maka dari itu, penerapan K3 di sektor informal juga dapat diintegrasikan ke dalam program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) sebagai bentuk keberlanjutan bisnis yang etis.

Dengan jumlah pekerja informal yang mencapai lebih dari separuh angkatan kerja nasional, mengabaikan keselamatan mereka berarti mengabaikan fondasi ekonomi bangsa. Jika pekerja informal terus bekerja tanpa perlindungan, risiko kehilangan produktivitas dan meningkatnya beban kesehatan nasional akan semakin besar. Oleh karena itu, penerapan manajemen K3 di sektor informal harus dipandang sebagai investasi sosial jangka panjang, bukan sekadar biaya tambahan.

Pada akhirnya, perlindungan terhadap pekerja informal adalah cerminan dari seberapa jauh Indonesia menghargai nilai kemanusiaan dalam pembangunan. Negara yang kuat bukan hanya yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi juga yang mampu memastikan setiap warganya—baik nelayan, buruh, pedagang, maupun pengrajin—bekerja dengan aman, sehat, dan bermartabat. (*Mahasiswa Magister Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman)

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

BACA JUGA

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA