BERITAALTERNATIF.COM – Koalisi Pers Kalimantan Timur (Kaltim) yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Samarinda, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kaltim, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Kaltim menyatakan keprihatinan dan mengecam keras praktik doxing terhadap jurnalis dan insan pers di Samarinda.
Belakangan ini, pemimpin media, content creator, web media online mengalami intimidasi berupa penyebaran data pribadi (doxing), peretasan, serta ancaman pascapenerbitan berita-berita yang mengkritik kekuasaan.
“Praktik doxing adalah bentuk intimidasi yang tak bisa ditolerir. Ini teror terhadap orang-orang yang justru menjalankan fungsinya untuk mengawasi kekuasaan. Ruang digital memang bebas, tapi bukan berarti semua bentuk kekerasan dibenarkan,” tegas Ketua AJI Kota Samarinda Yuda Almerio dalam rilisnya yang diterima media ini pada Senin (19/5/2025).
Dia menambahkan bahwa doxing adalah bagian dari kekerasan digital yang mengancam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Dalam era banjir informasi dan algoritma, jurnalis menjadi garda terdepan dalam menyaring disinformasi melalui pelaporan berbasis fakta dan verifikasi.
Data AJI Indonesia menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024, terjadi 91 kasus kekerasan terhadap jurnalis, dengan jenis serangan digital—seperti doxing dan peretasan—menjadi salah satu tren yang meningkat signifikan, terutama menjelang tahun politik.
“Sementara di Samarinda ada empat kejadian dalam pantauan kami. Ada doxing, intimidasi siber hingga peretasan web media online,” katanya.
Ketua PWI Kaltim Rahman juga menyoroti perlindungan yang lemah terhadap insan pers.
Doxing disebutnya sebagai tindakan pengecut dan terkutuk.
Kritik terhadap kekuasaan, kata dia, merupakan hal lumrah. Pemerintah memiliki anggaran besar, tentu wajib diawasi.
“Kalau ada konten keliru, tempuhlah mekanisme yang sesuai lewat Dewan Pers, bukan justru meneror jurnalis,” tegasnya.
Ia juga menekankan solidaritas lintas organisasi dan media. Intimidasi terhadap satu jurnalis akan berdampak pada iklim kerja semua insan pers.
“Kita harus bersatu. Tak melihat latar organisasi. Demokrasi membutuhkan pers yang kritis dan independen,” lanjutnya.
Ketua IJTI Kaltim Priyo Puji Mustofan menyatakan bahwa ruang digital semestinya menjadi wadah berbagi informasi dan kritik, bukan arena penyebaran aib.
“Penggunaan teknologi dan AI di media sosial harus diiringi kebijaksanaan. Jejak digital tidak bisa dihapus, dan tindakan doxing merusak iklim demokrasi yang sehat,” ujarnya.
Koalisi Pers Kaltim juga mengingatkan bahwa perlindungan terhadap jurnalis adalah amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan digital, adalah pelanggaran hukum yang harus ditindak oleh aparat penegak hukum dan platform digital.
Koalisi Pers Kaltim menuntut:
Pertama, aparat penegak hukum mengusut tuntas pelaku doxing dan kekerasan digital terhadap jurnalis.
Kedua, platform digital (media sosial) memperkuat perlindungan data pribadi dan mekanisme pelaporan terhadap konten berbahaya.
Ketiga, pemerintah dan lembaga negara menjamin kebebasan pers sebagai bagian dari hak asasi dan demokrasi.
Keempat, solidaritas jurnalis dan organisasi media untuk melawan segala bentuk intimidasi tanpa memandang latar belakang institusi.
Koalisi ini juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menjaga ruang digital yang sehat dan menghormati kerja-kerja jurnalistik sebagai fondasi demokrasi. (*)
Editor: Ufqil Mubin