BERITAALTERNATIF.COM – Rencana relokasi Pasar Subuh ke Pasar Beluluq Lingau di Jalan PM Noor oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda terus menuai penolakan dari berbagai kalangan, khususnya para pedagang pasar tersebut.
Kuasa hukum pedagang Pasar Subuh Samarinda Muhammad Fathi Ramadhan menilai kebijakan yang diambil Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Samarinda bersifat sepihak karena tak melibatkan pedagang dalam proses pengambilan keputusan.
Dia menyebut berbagai elemen masyarakat kini mulai menunjukkan solidaritas seperti LBH, aktivis, BMPSIF, dan kelompok mahasiswa yang turut menyuarakan penolakan atas kebijakan tersebut.
Wacana relokasi Pasar Subuh sudah muncul sejak Oktober 2023 sehingga memicu ketegangan antara pedagang dan Pemkot Samarinda.
Rencana relokasi yang telah mencuat sejak Oktober 2023 itu memicu ketegangan antara pedagang dan Pemkot Samarinda.
Fathi mengakui bahwa Disperindag Samarinda sudah beberapa kali mencoba mengadakan pertemuan dengan para pedagang untuk membahas pemindahan pasar ke lokasi baru yang berjarak sekitar 7 kilometer dari Pasar Subuh.
Namun, dia menyebut pertemuan-pertemuan tersebut tidak membuahkan keputusan yang jelas.
Sejak wacana relokasi dilontarkan, menurutnya, para pedagang sudah menyatakan ketidaksetujuannya secara terbuka.
Ketika sosialisasi dilakukan, dialog yang terjadi tidak bersifat konstruktif, satu arah, dan berakhir tanpa persetujuan dari kedua belah pihak.
“Memang ada beberapa kali kehadiran Dinas Perdagangannya. Kami rasa itu hanya kunjungan biasa. Tidak ada sosialisasi lanjutan,” jelasnya kepada awak media Berita Alternatif pada Senin (5/5/2025).
Fathi juga menyebutkan bahwa kunjungan Disperindag Samarinda menyerupai kunjungan biasa tanpa sosialisasi lanjutan. Padahal, para pedagang sudah menyatakan penolakan secara terbuka terhadap wacana pemindahan Pasar Subuh.
Sebanyak 57 pedagang di Pasar Subuh, lanjut dia, menyewa petak dari pemilik lahan dari keluarga Ngo. Mereka membayar sewa secara resmi, dikenai pungutan, dan memiliki kartu identitas usaha yang diterbitkan oleh kelurahan.
Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk melakukan relokasi.
Ia menyebut penolakan semakin kuat setelah Disperindag Samarinda mengirim surat undangan pengundian petak di lokasi baru pada 23 April 2025.
Namun, sebelum surat dikirim, Disperindag Samarinda disebut telah melakukan pendataan terhadap para pedagang yang aktif berjualan di Pasar Subuh.
Kemudian disusul pemasangan banner yang berisi pengumuman yang mewajibkan pedagang pindah ke Pasar Beluluq Lingau pada 4 Mei 2025. Hal ini kembali memicu kemarahan para pedagang.
Fathi menilai langkah ini sebagai bentuk pemaksaan dan program pengusiran para pedagang yang sudah puluhan tahun berdagang di pasar tersebut. Pasalnya, langkah ini didasari atas keinginan sepihak Pemkot Samarinda.
Kebijakan relokasi yang diambil oleh Pemkot Samarinda dinilainya tidak mencerminkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Pasalnya, proses pengambilan keputusan tidak tertib secara administratif serta melanggar asas umum pemerintahan yang baik sebagimana diatur dalam aturan teknis penertiban.
“Harus ada upaya-upaya komunikatif. Dia harus ada upaya-upaya yang humanis (yang) mengedepankan HAM,” sarannya.
Dia menyebut Pemkot Samarinda belum memberikan penjelasan secara rinci soal alasan relokasi maupun jaminan kelangsungan usaha pedagang di lokasi baru.
Selain itu, petak yang ditempati para pedagang merupakan lapak sewa milik pribadi, bukan punya Pemkot Samarinda.
Lokasi pasar baru juga dinilainya akan sepi pengunjung. “Kalau kami dipindah maka seperti apa?” tanyanya.
Dia juga mengungkap dugaan intimidasi terhadap keluarga Ngo selaku pemilik lahan.
Undangan dari Disperindag Samarinda kepada pemilik lahan pada awal Mei 2025 dianggap sebagai bentuk tekanan agar aktivitas perdagangan dihentikan.
Padahal, sebelum dipanggil Disperindag, keluarga Ngo sudah menyampaikan kepada para pedagang bahwa mereka tidak keberatan jika aktivitas pasar tetap berjalan.
Fathi menambahkan bahwa tarif sewa terhadap pedagang baru diberlakukan sejak awal 2025 dengan bukti administrasi yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan.
Keluarga Ngo selaku pemilik lahan Pasar Subuh, lanjut dia, akhirnya memutuskan tidak melanjutkan perpanjangan sewa kepada para pedagang.
Ia menduga keputusan itu tidak lepas dari tekanan yang diberikan Disperindag Samarinda yang mewajibkan keluarga tersebut membayar pajak dalam jumlah besar atas aktivitas perdagangan yang telah berlangsung bertahun-tahun di lokasi tersebut.
Berdasarkan penelusurannya, jumlah pajak yang dibebankan mencapai miliaran rupiah.
Fathi menilai langkah tersebut sebagai bentuk intimidasi dan upaya paksa pemerintah untuk mengosNgokan lahan secara tidak langsung.
Menanggapi gelombang tekanan dari Pemkot Samarinda, pihaknya melayangkan surat keberatan pada 2 Mei 2025 kepada Wali Kota Samarinda, DPRD Kota Samarinda, DPRD Provinsi Kaltim, Gubernur Kaltim, dan Ombudsman.
Selain itu, mereka mengajukan permohonan audiensi dengan Wali Kota Samarinda sebagai bentuk tindak lanjut atas aksi unjuk rasa yang dilakukan para pedagang di Balai Kota Samarinda.
“Kami pengen sebenarnya didengar aspirasi dua arah,” jelasnya.
Wakil Wali Kota Samarinda Saefuddin Zuhri menegaskan bahwa pemindahan para pedagang Pasar Subuh ke Pasar Beluluq Lingau sudah melalui mekanisme dan aturan yang berlaku.
Pemkot Samarinda, kata dia, sudah mempertimbangkan berbagai aspek sebelum mengambil kebijakan tersebut.
Selain itu, ia mengaku Pemkot Samarinda terus melakukan komunikasi dengan para pedagang sehingga relokasi pasar ini bisa segera terwujud.
“Kita akan upayakan komunikasi terus. Ini untuk kebaikan bersama,” pungkasnya. (*)
Penulis: Ulwan Murtadho
Editor: Ufqil Mubin