Oleh: Jamaluddin*
Menanggapi klarifikasi PT RMB yang dirilis media Berita Alternatif pada 1 Juli 2025, saya merasa perlu memberikan jawaban secara terbuka sebagai Ketua Forum Petani Sawit Belayan (FPSB), agar publik dan pihak-pihak terkait mendapatkan gambaran yang utuh dan adil atas situasi yang dihadapi para petani.
Pertama-tama, klarifikasi yang disampaikan PT RMB justru memperlihatkan indikasi bahwa perusahaan telah menyadari keberadaan izin kelola (IPPKH) sejak tahun 2013 dan 2016, namun tidak mengambil langkah komunikasi apa pun dengan petani di lapangan hingga tahun 2023. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: ke mana saja perusahaan selama lebih dari 7 tahun?
Jika lahan yang diklaim telah berizin sejak lama, mengapa perusahaan baru memberi tahu setelah petani berhasil membuka, merawat, dan mulai memanen kebunnya? Ketika hasil sudah dirasakan oleh petani seperti Pak Stepanus—yang bertahun-tahun mengelola kebun itu dengan berjalan kaki, untuk membiayai sekolah 4 anaknya—baru kemudian perusahaan hadir membawa surat klaim. Situasi ini membuka kemungkinan bahwa ada unsur kesengajaan atau pembiaran sistematis, yang menjebak petani agar kehilangan sumber nafkahnya tanpa kompensasi yang adil.
Perusahaan menyatakan bahwa tawaran Rp 1 miliar dari petani dianggap tidak berdasar. Pernyataan ini mencerminkan betapa jauhnya jarak pemahaman antara perusahaan dan kenyataan hidup petani. Pak Stepanus secara terbuka menyatakan bahwa dirinya memang tidak memahami dasar hukum atau analisa valuasi ekonomi, namun tawaran tersebut ia ajukan berdasarkan satu hal yang pasti: kebun itu adalah sumber hidupnya, dan ia berpikir nilai tersebut cukup untuk menyambung kehidupan keluarga jangka panjang jika kebun itu hilang. Apalagi, sebelumnya pihak perusahaan yang lebih dahulu mengajukan penawaran Rp 700 juta plus pembangunan rumah. Maka jawaban beliau yang menawarkan Rp 1 miliar adalah wajar sebagai respons emosional dan logis.
Kami ingin menggarisbawahi bahwa dalam negosiasi seperti ini, petani adalah pihak yang lemah secara informasi dan posisi hukum, sehingga perusahaan seharusnya hadir bukan sebagai lawan, melainkan sebagai mitra yang bertanggung jawab secara sosial.
Dalam beberapa kasus lain di Desa Muai, Kecamatan Kembang Janggut, kami juga menerima informasi dari para petani bahwa perusahaan pernah menawarkan ganti rugi sebesar Rp 5 juta hingga Rp 25 juta per hektar. Tawaran seperti ini juga kami nilai tidak berdasar dan tidak mencerminkan penghargaan atas jerih payah dan nilai ekonomi tanaman sawit yang sudah tertanam.
Sebagai gambaran, Koperasi Perkebunan Belayan Sejahtera pernah membuat formula sederhana untuk menghitung nilai kompensasi sawit:
Nilai kompensasi = Rata-rata produksi per pokok sawit × Harga rata-rata TBS per tahun × Jumlah sisa tahun produksi (dari total daur 25 tahun) × Jumlah pokok sawit yang digusur.
Dengan rumus ini, dapat dihitung nilai kerugian petani secara obyektif dan masuk akal, yang mencerminkan hilangnya pendapatan jangka panjang, bukan sekadar nilai lahan.
Dalam kesempatan ini, saya juga mempertanyakan keberadaan dan peran Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan, baik di pusat maupun daerah. Ketika petani membuka lahan sawit dalam situasi tanpa pilihan ekonomi lain, tidak ada satu pun pihak yang hadir memberi peringatan, pendampingan, atau alternatif.
Selama lebih dari 10 tahun, petani bekerja di lahan itu, namun pemerintah seolah membiarkan, bahkan mungkin menganggap wajar. Tapi begitu konflik muncul, petani langsung dianggap melanggar, bahkan dijadikan target penertiban.
Apakah negara hanya hadir untuk menghukum petani yang sudah susah payah membangun nafkah dari tanah kosong? Di mana negara ketika petani butuh panduan dan perlindungan hukum?
Jika sawit di kawasan hutan dianggap sebagai barang haram, maka harusnya negara juga memberikan jalan keluar—bukan sekadar vonis bersalah. Tanpa alternatif hidup yang adil dan layak, maka larangan hanyalah jebakan sosial yang akan terus memiskinkan rakyat kecil.
Pak Stepanus bukan satu-satunya. PT RMB sendiri mengakui ada satu petani lain yang menerima surat serupa. Namun, berdasarkan data kami, ratusan petani berada dalam situasi yang sama, dan bisa saja menghadapi nasib serupa dalam waktu dekat. Maka penyelesaian kasus ini tidak bisa dianggap sebagai persoalan personal atau individual.
Perlu kami tekankan, bahwa kami tidak anti investasi. Tapi kami percaya bahwa investasi yang baik adalah investasi yang menghormati hak hidup rakyat, terutama petani kecil.
Kami menyerukan agar perusahaan, pemerintah, dan masyarakat sipil duduk bersama mencari penyelesaian yang adil, transparan, dan manusiawi. Jangan biarkan petani menjadi korban sistem yang membingungkan, penuh jebakan hukum, dan tanpa perlindungan.
Kami berharap negara harus hadir bukan hanya untuk menegakkan hukum, tapi juga menjamin keadilan. (*Ketua Forum Petani Sawit Belayan)