BERITAALTERNATIF.COM – Desa Sabintulung merupakan salah satu dari 20 desa yang dimiliki Kecamatan Muara Kaman Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).
Sama dengan beberapa wilayah lain di Muara Kaman, desa ini juga dikenal dengan kekayaan alamnya yang cukup berlimpah, khususnya di sektor perkebunan, yang digadang-gadang menjadi sumber pendapatan utama desa.
Desa yang kini berstatus sebagai desa mandiri ini juga cukup kaya dari segi kebudayaan maupun sejarah. Pagelaran Erau Benua Tuha menjadi bukti sekaligus penanda puncak dari sisa-sisa kemegahan historis yang dimiliki oleh Sabintulung.
Terjaganya tradisi ini tak dapat dilepaskan dari peran pemerintah desa yang menjadi pionir dalam merawat kelestarian dari pagelaran tersebut agar tetap eksis hingga saat ini.
Arta merupakan sosok yang hingga saat ini masih dipercaya oleh masyarakat dalam menahkodai desa ini. Dia menjabat sebagai kepala Desa Sabintulung.
Pria kelahiran 5 Februari 1973 ini merupakan putra asli daerah yang tumbuh, besar, serta dididik di lingkungan salah satu desa tertua di Muara Kaman tersebut.
Loyalitasnya terhadap desa tak perlu diragukan, hingga layak dipercaya untuk menjaga kesakralan dan keaslian tradisi Erau Benua Tuha.
Hal ini terbukti di mana ia selalu mendapat kepercayaan dari warganya untuk duduk sebagai kepala desa selama 3 periode berturut-turut.
Arta merupakan salah satu kepala desa yang tidak menuntaskan pendidikan formalnya dengan lengkap. Masa-masa sekolah dasarnya dilaluinya selama 6 tahun di SD 005 Sabintulung. Kemudian untuk jenjang sekolah menengah ia habiskan di SP II Kecamatan Sebulu. Sementara itu, untuk ijazah SMA ia dapatkan kala mengikuti ujian paket C di desanya.
Arta mengaku sudah beberapa kali berganti bidang pekerjaan. Sebelum menjabat sebagai kepala desa, ia dulu merupakan mantan pejabat yang mengabdi sebagai Kasi Pemerintahan. Selain itu, ia pernah mencicipi jabatan sebagai Ketua Koperasi PTSL 1 dan 2.
Kemantapan hati Arta untuk segera mendaftarkan diri pada bursa pemilihan kepala desa diperkuat juga atas rasa ibanya melihat kondisi desanya saat itu yang cukup memperihatinkan.
Meski termasuk salah satu wilayah tertua di Kukar, Sabintulung dianggapnya masih jauh tertinggal dari beberapa wilayah lainnya.
Saat itu, desa ini merupakan salah satu kawasan bersejarah di Kukar yang sangat lamban progres pembangunannya. Belum lagi kendala teknis lain yang menghambat kelancaran aktivitas warga setempat.
Berstatus sebagai sebuah kawasan yang terletak di antara dua kecamatan besar, yakni Tenggarong dan Muara Kaman, menciptakan sebuah prakondisi di mana desa ini sering kali tak terjangkau dan kurang disorot oleh pemerintah, khususnya dari segi infrastrukur dan berbagai fasilitas penunjang desa yang dinilainya masih minim pembangunan.
Kebutuhan dasar seperti infrastruktur jalan yang menunjang proses keluar masuknya masyarakat ke desa ini berada dalam kondisi yang memperhatikan.
Banyak akses jalan poros desa yang masih digenangi oleh lumpur. Hal ini tentu menghambat kelancaran sirkulasi perekonomian desa dan mengganggu kenyamanan masyarakat berpindah tempat. Potensi bisnis tak akan banyak berkembang. Padahal, ia mengharapkan agar desa tercintanya dapat dikukuhkan sebagai desa mandiri.
“Dengan statusnya inilah kita mengoptimalkan kayak apa agar desa ini benar-benar bisa mandiri baik di bidang pembangunan dan pendapatannya. Kalau PAD-nya bagus kan berdampak bagi masyarakat Sabintulung,” jelasnya.
Infrastruktur jalan yang sulit mendapat catatan tersendiri baginya. Karena kondisi jalan di desanya waktu itu, sampai-sampai merusak sendal jepitnya.
Peristiwa ini terjadi ketika ia berjalan kaki kala mengurus berkas kematian salah satu warga desa. Pengalaman semacam ini di kemudian hari mendorongnya memutuskan berhenti terjebak dalam lamunan, dan sesegera mungkin merealisasikan impiannya itu untuk menjadi seorang kepala desa dengan harapan kualitas jalan di Sabintulung membaik.
Namun, ia bersyukur sebab kini sejak di bawah kendali pemerintahannya, Sabintulung dari segi kelengkapan fasilitas mengalami kemajuan pesat.
Berkat tangan dinginnya pula, telah terbangun sekitar 3 kilometer jalan lingkungan yang menghubungkan wilayah lain di luar desa. Hal ini berkat upaya dan ikhtiar Arta mengupayakan perbaikan jalan di daerahnya.
Mayoritas jalan di berbagai titik di wilayahnya yang menghubungkan jalan poros kabupaten dan provinsi sudah disemen.
“Insyallah di tahun 2025 ini jalan yang belum disemenisasi akan disemen. Masih dalam proses. Sudah masuk dalam anggaran,” ungkapnya.
Daru segi sosial-ekonomi, Arta menegasakan, warga Sabintulung sebagian besar mencari pundi-pundi pendapatan dengan bekerja di sebuah perusahaan. Baik di dalam ataupun luar kawasan desa. Terutama di sektor perkebunan sawit yang sering kali terlihat memenuhi lahan-lahan kosong kala melintas di sepanjang desa.
Secara geografis, Sabintulung mempunyai lahan yang sangat luas. Jika dihitung secara keseluruhan, luas lahan di desa ini mencapai sekitar 47,427 hektar.
Selain itu, di antara beberapa desa lainnya di Kukar, Sabintulung dinilai masih minim populasi penduduk sehingga menjadikan desa ini di sebagian wilayahnya masih didominasi oleh lahan-lahan kosong yang potensial.
Kondisi ini pun memantik para pengusaha sawit untuk menjalin kemitraan dengan masyarakat setempat yang memiliki lahan untuk mengelola plasma dalam industri perkebunan kelapa sawit.
Ia mengungkapkan, pendataan bagi para calon petani plasma baru dapat tereksekusi setelah ia terpilih sebagai kades, tepatnya pada tahun 2007 saat ia pada tahun pertama memimpin desa tersebut.
Proses pendataan ini dianggapnya tidak semudah yang dibayangkan, karena terhambat berbagai kendala administratif.
Belum lagi muncul permasalahan di tengah jalan seperti pemindahtanganan lahan secara sepihak akibat ulah oknum investor nakal dan beragam masalah lainnya, termasuk pada aspek bagi hasil antara pihak korporasi dan warga.
Akan tetapi, setelah diurus dan diproses oleh pihak desa yang sempat tercaplok kepemilikannya itu bisa kembali ke tangan masyarakat.
Selain itu, pembagian porsi keuntungan yang lebih adil kepada pemilik lahan juga semakin diperjelas, sehingga pemilik lahan dapat memperoleh haknya secara proporsional dan merata dari pengelolaan perkebunan plasma tersebut.
Meski sempat tertatih di awal, lambat laun hasil keuntungan dalam pengelolaan plasma kini dirasakan warga setempat yang mencurahkan keringat serta aset berupa tanah milik mereka untuk ditumbuhi oleh tanaman yang menjadi bahan baku minyak makan tersebut.
“Kami yang punya wilayah, masak kami tidak bisa merasakan hasil wilayah kami? Karena banyak lahan kami yang diberikan ke perkebunan investor, masak kami tidak ada imbal baliknya?” bebernya.
“Kalau lahan itu diserahkan ke perusahaan, otomatis mereka (warga setempat) plasma. Alhamdulliah saat ini kita anggap rata-rata (pendapatan warga) satu juta per bulannya. Ini kan salah satu upaya pemerintah untuk meringankan beban masyarakat,” terangnya.
Nuansa kebersamaan yang begitu mengakar kuat antarmasyarakat masih terasa kental serta menjadi nilai tambah tersendiri bagi Sabintulung.
Semangat gotong royong hingga hari ini pun masih erat dan terawat dengan sangat baik, mencerminkan eratnya ikatan sosial sesama warga desa.
Tak hanya menyiapkan sebuah perayaan besar yang bersifat umum, kerja sama yang terbangun melalui hubungan personal sesama warga pun dinilai Arta sangat kokoh, salah satu buktinya di mana saling bahu membahu dalam menolong salah satu tetangga terdekat yang menggelar pesta pernikahan mulai dari persiapan seperti merangkai panggung perkawinan hingga menyentuh hal-hal teknis lainnya.
Semua itu dilakukan warga setempat dengan ikhlas tanpa memakan biaya sepeserpun. Fenomena ini menjadi bagian tak terpisahkan dalam gambaran kehidupan masyarakat sehari-hari.
Di bidang keagamaan, ia mengaku Sabintulung tergolong sebagai salah satu desa yang cukup aktif dalam menyediakan ruang bagi para pendakwah untuk menyampaikan dakwahnya.
Bahkan, sejumlah penceramah ternama dan terkenal sering kali diundang oleh pihak pemerintah desa untuk mengisi tabligh akbar yang ditujukan untuk memberi kesempatan bagi mereka untuk berkembang dan menikmati sajian-sajian kerohanian.
Program satu desa satu ustadz dari Bupati Edi Damansyah juga sudah mulai berjalan. “Untuk bidang keagamaan, hiburan, kesenian, sudah mulai terbuka pengunjungnya luar biasa,” ujarnya.
Program-program yang bersentuhan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat juga menjadi fokusnya saat ini.
Dia mengembangkan industri yang mengolah serta memperjualbelikan aneka kerajinan berbahan dasar purun. Purun merupakan tanaman yang stoknya cukup melimpah di desa berkat hasil karya tangan ibu-ibu PKK.
Purun disulap menjadi anyaman yang bernilai ekonomis seperti dompet, tas, pernak-pernik sampai perabotan rumah tangga. Hal ini sangat bermanfaat dalam menciptakan kemandirian ekonomi komunal. Memperluas opsi pendapatan yang bisa dikomersialkan oleh masyarakat.
“Dia tumbuh sendiri (purun) di tempat yang khusus. Makanya nanti mau kita Perdeskan,” ucapnya.
Arta berjanji akan terus berupaya maksimal untuk membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat desa yang dipimpinnya.
Ia mengharapkan para generasi penerus di daerahnya memiliki niat tulus dan ikhlas untuk membangun desa dan bersedia melanjutkan program-program positif maupun tradisi adat istiadat yang diwariskan dan dirawat dengan baik.
Sejauh ini, perkembangan Sabintulung telah sesuai dengan visi misi dan terget yang direncanakannya. Beragam fasilitas penunjang bagi warga kini semakin lengkap, termasuk fasilitas yang dibutuhkan dalam keadaan mendesak seperti mobil pemadam dan 2 unit ambulans yang didapat desa dari bantuan CSR serta anggaran desa.
Meski begitu, di balik segudang prestasi dan raihan positif yang dicapainya selama diamanahkan oleh masyarakat dalam menahkodai desa ini, ia mengaku dari sisi pembangunan masih jauh dari kata sempurna dan masih meninggalkan pekerjaan rumah yang belum diselesaikan.
Salah satunya, merampungkan serta memindahkan pedagang ke lapak pasar reguler.
Ia mengaku tata kelola pasar di Sabintulung masih belum tertata rapi, di antara para pedagang pada pagi dan malam masih berjualan dan menjajakan dagangannya di pinggir jalan atau di depan pemukiman warga, tempat lalu lalangnya kendaraan dan pejalan kaki yang melintas melewati desa ini.
Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan lambatnya pemindahan para pedagang untuk menempati pasar yang sudah disediakan karena lokasi pasar yang jauh dari pusat pemukiman warga.
Selain masalah dalam tata kelola pasar, pemberdayaan sektor pariwisata masih menjadi masalah serius yang dihadapi oleh pemerintah desa.
Arta mengaku kesulitan mengembangkan sektor ini karena ditengarai kondisi alamnya yang dinilai masih belum menarik di mata pengunjung sehingga ia pun memutuskan untuk menelurkan suatu program terkait pariwisata dengan menonjolkan sisi-sisi keunikan desa.
“Kan banyak potensi-potensi yang mau kami gali ini. Kira-kira para penikmat wisata itu bisa menikmati walaupun pembiayaannya kecil, tempatnya sederhana, tapi unik,” pungkasnya. (*)
Penulis: Ulwan Murtadho
Editor: Ufqil Mubin