BERITAALTERNATIF – Sudan merupakan salah satu negara terbesar di benua Afrika, dengan luas lebih dari 1,86 juta kilometer persegi. Letaknya strategis—seperti jembatan antara Afrika Utara dan Sub-Sahara. Negara ini berbatasan dengan Mesir dan Libya di utara, Chad dan Republik Afrika Tengah di barat, Ethiopia dan Uganda di selatan, serta Laut Merah di timur.
Kondisi geografis Sudan yang beragam—mulai dari gurun kering di utara hingga dataran subur di tengah dan pegunungan di barat—menjadikannya wilayah yang kompleks. Sungai Nil, dengan dua cabangnya (Nil Biru dan Nil Putih), merupakan sumber kehidupan utama, di mana sebagian besar dari 48 juta penduduk Sudan bermukim di sepanjang alirannya. Meski memiliki posisi geografis penting, negara ini telah lama terjebak dalam kemiskinan struktural, konflik etnis, dan perang saudara. Salah satu episentrum masalah itu adalah Darfur—tanah kaya sumber daya yang selama dua dekade terakhir justru identik dengan kekerasan dan instabilitas.
Kota Al-Fashir, ibu kota Darfur Utara, menjadi simbol dari krisis tersebut. Kejatuhannya pada Oktober 2025 ke tangan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) menandai perubahan besar dalam keseimbangan perang di Sudan barat dan menambah kekhawatiran akan ancaman disintegrasi negara. Peristiwa itu disertai dengan kejahatan perang, menjadikannya salah satu tragedi paling kelam dalam sejarah Sudan modern.
Geografi Sudan: Jembatan yang Rawan Antara Afrika dan Dunia Arab
Secara geografis, Sudan terbagi menjadi tiga kawasan utama:
- Bagian utara yang didominasi gurun Nubia dan padang pasir kering.
- Bagian tengah yang subur di sekitar Sungai Nil dan dataran Gezira.
- Bagian selatan dan barat daya yang beriklim panas dan memiliki vegetasi lebat.
Dengan populasi sekitar 48 juta jiwa dan kepadatan rendah (hanya 25 orang per km²), sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup pada pertanian dan peternakan. Sebelum pemisahan Sudan Selatan pada 2011, ekonomi Sudan bergantung pada ekspor minyak. Namun setelahnya, emas, kapas, ternak, dan hasil pertanian menjadi sumber utama pendapatan.
Posisi geografis Sudan menjadikannya penting secara geopolitik: memiliki perbatasan dengan tujuh negara dan akses langsung ke Laut Merah, serta berfungsi sebagai jalur penghubung antara Afrika Timur dan Utara. Namun posisi strategis ini juga membuatnya rawan terhadap intervensi asing—baik dari Timur Tengah maupun Afrika.
Sejak pecahnya konflik antara militer Sudan (SAF) dan RSF pada April 2023, negara itu terbelah dua secara politik dan geografis. Bagian timur, termasuk pelabuhan Port Sudan, dikuasai oleh militer, sementara bagian barat—terutama Darfur—berada di bawah kendali RSF. Akibat perang ini, lebih dari 10 juta orang terpaksa mengungsi di dalam negeri dan 2,3 juta lainnya melarikan diri ke negara tetangga.
Darfur: Jantung Barat Sudan, Tanah Kaya yang Terperangkap Konflik
Darfur mencakup wilayah seluas sekitar 510 ribu kilometer persegi—hampir seperlima luas Sudan. Wilayah ini berbatasan dengan Chad di barat, Libya di utara, Kordofan di timur, dan Republik Afrika Tengah di selatan. Topografinya terdiri dari gurun dan dataran tinggi dengan rata-rata ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Curah hujan di sini berkisar antara 200 hingga 600 milimeter per tahun, tetapi kekeringan yang sering terjadi membuat kondisi alamnya keras.
Populasi Darfur diperkirakan mencapai 8 hingga 10 juta jiwa, terdiri dari lebih dari 80 kelompok etnis. Sebagian besar masyarakatnya bekerja di sektor pertanian dan peternakan. Sekitar 20 persen ternak Sudan berasal dari wilayah ini.
Darfur juga kaya akan sumber daya alam. Sekitar 30 persen emas yang diekstraksi di Sudan berasal dari tambang-tambang di wilayah ini. Selain emas, ditemukan pula cadangan krom, tembaga, dan bahkan indikasi keberadaan uranium. Namun perang dan ketidakstabilan telah menghambat pembangunan ekonomi, menjadikan Darfur salah satu wilayah termiskin di negara itu.
Letaknya yang berbatasan langsung dengan Chad dan Libya membuat Darfur menjadi jalur penting perdagangan—baik resmi maupun ilegal. Namun rute ini juga sering digunakan untuk penyelundupan senjata dan migrasi lintas batas. Sejak 2003, wilayah ini menjadi ajang perang etnis yang menewaskan lebih dari 300 ribu orang dan membuat jutaan lainnya mengungsi. Dalam perang yang sedang berlangsung, RSF—yang berakar dari milisi Janjaweed—kini menguasai sebagian besar wilayah Darfur. Kota Al-Fashir yang sebelumnya dikuasai militer menjadi pertahanan terakhir, sebelum akhirnya juga jatuh dengan korban besar.
Al-Fashir: Titik Persimpangan dan Pusat Strategis
Al-Fashir terletak sekitar 800 kilometer di barat Khartoum dan memiliki ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Kota ini berdiri di jalur utama yang menghubungkan Darfur dengan Chad dan Libya, menjadikannya titik strategis secara logistik dan militer.
Secara historis, Al-Fashir memiliki makna simbolik besar. Pada abad ke-17 hingga ke-19, kota ini menjadi ibu kota Kerajaan Darfur di bawah pemerintahan Sultan Ali Dinar. Istana dan museum peninggalannya yang terdaftar di UNESCO pada 2023 menjadi simbol budaya wilayah ini—meski kini rusak parah akibat perang.
Sebelum konflik terbaru, Al-Fashir dihuni sekitar 500 ribu orang, namun gelombang pengungsi dari daerah lain membuat populasinya melonjak lebih dari dua kali lipat. Banyak dari mereka kini tinggal di kamp-kamp pengungsian besar seperti Zamzam dan Nifasha.
Dari sisi militer, kota ini dulunya menjadi benteng terakhir militer Sudan di barat—markas Divisi Infanteri ke-6. Namun setelah pengepungan panjang selama hampir dua tahun, pada Oktober 2025 kota ini jatuh ke tangan RSF. Kejatuhan ini memberikan kendali penuh atas Darfur kepada pasukan Hemeti dan membuka jalan bagi ekspansi mereka ke wilayah Kordofan.
Arti Strategis Darfur dan Al-Fashir
- Arti Ekonomi
Darfur dan Al-Fashir berperan penting dalam perekonomian Sudan karena kekayaan sumber daya alam dan potensi pertanian serta peternakan. Tambang emas Darfur menyumbang sebagian besar ekspor negara, sementara pasar ternaknya menjadi tumpuan perdagangan dengan Mesir dan Libya. Namun konflik berkepanjangan menghancurkan rantai produksi dan distribusi. Diperkirakan sekitar 20 persen populasi ternak Sudan telah hilang akibat perang. - Arti Militer dan Strategis
Secara geografis, Al-Fashir terletak di simpul penting antara Chad, Libya, Kordofan, dan Sudan bagian timur. Menguasai kota ini berarti menguasai jalur logistik dan transportasi utama di barat. Setelah kota itu jatuh, militer Sudan kehilangan kedalaman pertahanan strategisnya di wilayah barat, sementara RSF memperoleh akses lebih mudah ke pusat negara. - Arti Politik dan Kemanusiaan
Jatuhnya Al-Fashir bukan hanya kekalahan militer, tetapi juga simbol kemunduran politik bagi pemerintah pusat. Peristiwa ini memperkuat potensi terbentuknya “pemerintahan bayangan” di barat. Secara kemanusiaan, kondisinya sangat buruk: lebih dari satu juta orang terperangkap dalam kelaparan, kekurangan air, dan penyakit. Ketegangan antaretnis antara kelompok Arab dan non-Arab juga meningkat, menambah jumlah korban jiwa.
Dampak Regional
Penguasaan Darfur oleh RSF membuat negara-negara tetangga gelisah. Mesir menganggap kejatuhan Al-Fashir sebagai ancaman terhadap keamanan perbatasannya di selatan. Chad dan Libya menghadapi arus pengungsi dan meningkatnya penyelundupan senjata, sementara Uni Emirat Arab—pendukung utama RSF—memperluas pengaruhnya di wilayah itu. Pengamat internasional memperingatkan bahwa jika konflik ini terus berlanjut, Sudan berisiko terpecah menjadi beberapa negara kecil yang lemah.
Kesimpulan
Darfur dan Al-Fashir mencerminkan krisis identitas dan kegagalan struktural Sudan. Wilayah yang seharusnya menjadi pusat pertumbuhan justru berubah menjadi simbol kehancuran. Kejatuhan Al-Fashir menegaskan bahwa konflik Sudan telah melampaui batas domestik dan berdampak regional hingga internasional.
Tanpa inisiatif perdamaian yang serius dan dukungan global untuk rekonstruksi, perang di Darfur bisa menjadi awal dari runtuhnya negara terbesar kedua di Afrika—sebuah bencana yang akan mengguncang hingga jauh ke jantung Afrika Barat. (*)
Sumber: Mehr News
Penerjemah dan Editor: Ali Hadi Assegaf.











