BERITAALTERNATIF.COM – Ketua DPRD Kukar Ahmad Yani menanggapi sengketa lahan antara petani kelapa sawit di Desa Long Beleh Modang Kecamatan Kembang Janggut dan perusahaan tambang batu bara PT Rencana Mulia Baratama (RMB).
Yani menegaskan bahwa perusahaan harus menjalankan mekanisme penggunaan lahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
“Dia tidak boleh memasuki wilayah-wilayah atau bahkan melakukan land clearing ataupun pembersihan lahan atau aktivitas apa pun sebelum lahan itu klir dulu,” tegasnya saat ditemui awak media Berita Alternatif di Kantor DPRD Kukar pada Senin (30/6/2025).
Sebelum melakukan pembukaan lahan (land clearing), tegas Yani, pemilik PT RMB mestinya menyelesaikan terlebih dahulu hak-hak masyarakat yang berkaitan dengan lahan tersebut.
Perusahaan, sambung dia, harus melakukan negosiasi sebelum mengadakan aktivitas usaha di lahan yang masih diklaim oleh warga.
Ia mengatakan, PT RMB seyogianya menghitung terlebih dahulu kelapa sawit milik warga serta membayar ganti ruginya sebelum melakukan aktivitas pertambangan di lahan tersebut.
“Enggak boleh langsung masuk, apalagi langsung membongkar. Walaupun dia mengantongi izin, tetapi bukan berarti waktu dia mendapatkan izin langsung bisa beraktivitas,” terangnya.
Land clearing yang dilakukan perusahaan sebelum berkomunikasi dan bernegosiasi dengan pengelola lahan disebutnya sebagai pelanggaran terhadap aturan yang berlaku di Republik ini.
“Sebelum melakukan penambangan, land clearing, dan seterusnya, semua lahan di situ harus diklirkan dulu semua. Harus dibebaskan. Enggak boleh ada penambangan sebelum hak-hak masyarakat di situ diselesaikan. Itu namanya penjarahan. Itu enggak boleh. Negara enggak menolerir itu,” tegasnya.
Aktivitas usaha apa pun, lanjutnya, harus melibatkan masyarakat setempat, apalagi lahan yang digunakan untuk usaha tersebut masih diklaim oleh warga.
“Namanya perizinan itu diawali dengan persetujuan daerah (dan) persetujuan masyarakat setempat. Ada kajian lingkungannya. Kalaupun itu dilanggar, berarti kan perlu ada kontrol dari Pemerintah Kabupaten,” ujarnya.
Jika terdapat pelanggaran hukum, politisi PDI Perjuangan ini mengatakan, Undang-Undang Pertambangan bisa dijadikan dasar untuk menjerat pemilik PT RMB.
Ia pun berencana mendorong komisi terkait di DPRD Kukar untuk mendalami kasus ini. Anggota dewan dapat melakukan kunjungan serta menggali akar permasalahan dalam kasus ini.
“Tangan-tangan pemerintah kita harus turun ke sana menjembatani masalah itu. Kemudian mencari solusi supaya penambangan itu bisa menyejahterakan rakyat, bukan malah sebaliknya,” tegas dia.
“Kalau memang ada pemiliknya di situ, sementara haknya belum dihilangkan, saya rasa sampai ujung dunia, sampai akhirat pun, perusahaan harus tanggung jawab,” sambungnya.
Selain itu, Yani mengatakan, DPRD Kukar bisa mengadakan rapat dengar pendapat yang melibatkan PT RMB, pemilik kelapa sawit, dan Pemkab Kukar.
“Enggak boleh ada kesewenang-wenangan yang menyengsarakan warga masyarakat kita yang memang di sana berkebun dan menggantungkan hidupnya di situ,” ucapnya.
Ia menegaskan, pendalaman kasus ini serta pemanggilan pihak-pihak terkait bertujuan untuk memastikan agar pemerintah tak mengambil kesimpulan sepihak.
“Kita juga kan belum bisa menerima sepihak karena harus kaji dulu. Harus lihat dulu di lapangan,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, seorang petani sawit swadaya di Desa Long Beleh Modang, Kecamatan Kembang Janggut, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, dikejutkan dengan surat dari PT RMB, perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di wilayah tersebut.
Dalam surat bertanggal 19 Juni 2025, perusahaan tersebut meminta petani bernama Stepanus untuk mengosongkan lahan seluas ±5,26 hektar dalam waktu 3 hari sejak surat dikeluarkan.
Dalam surat bernomor 055/RMB-KTT/VI/2025 yang ditandatangani Kepala Teknik Tambang PT RMB, Risma Sido, perusahaan berdalih bahwa lahan tersebut berada dalam kawasan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor SK.130/Menhut-II/2013. Perusahaan juga mengklaim akan segera melakukan pembukaan lahan (land clearing) di wilayah tersebut.
Tak hanya melalui surat, spanduk besar bertuliskan “Pengumuman Pengosongan Lahan” juga dipasang perusahaan di areal kebun sawit milik Stepanus. Spanduk itu mengingatkan masyarakat bahwa membuka dan berkebun di kawasan tanpa izin dapat dikenakan pidana berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Namun, Stepanus menyatakan bahwa ia telah mengelola lahan itu sejak tahun 2004 untuk menanam padi, dan mulai menanam kelapa sawit pada tahun 2013. Kebun itu sudah menjadi sumber utama kehidupan keluarganya selama lebih dari satu dekade.
“Saya tidak pernah tahu bahwa lahan yang saya garap ini masuk kawasan hutan atau IUP perusahaan. Sejak awal saya bersihkan sendiri, tanami sendiri, rawat sendiri. Sekarang tiba-tiba disuruh angkat kaki hanya lewat surat dan spanduk,” kata Stepanus dengan nada kecewa.
Ketua Forum Petani Sawit Belayan (FPSB) Jamaluddin menyayangkan tindakan sepihak yang dilakukan oleh PT RMB.
Ia menilai proses pengosongan lahan tanpa musyawarah yang berarti, apalagi hanya memberikan waktu tiga hari, adalah bentuk intimidasi terhadap warga yang telah lama menggantungkan hidupnya dari tanah tersebut.
“Ini bukan sekadar soal legalitas administratif, tapi ini menyangkut hak atas penghidupan, hak atas tanah, dan hak untuk didengar. Surat dan spanduk itu menunjukkan bahwa perusahaan tidak mengindahkan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia,” tegasnya. (*)
Penulis & Editor: Ufqil Mubin