BERITAALTERNATIF.COM – Bupati Kukar, Aulia Rahman Basri, menanggapi pungutan liar dan setoran yang tengah ramai diperbicangkan publik Kukar dari kontraktor ke Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kukar.
Aulia menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah mendapatkan bukti konkret terkait pungli dan setoran yang sebelumnya dikeluhkan sejumlah pengusaha yang bekerja sama dengan DPU Kukar.
“Enggak ada pungli dan setoran. Itu kan enggak ada dalam peraturan pemerintah. Kalau saya sih, kalau memang ada, dilaporin aja,” tegasnya kepada awak media di Pendopo Odah Etam Tenggarong pada Kamis (30/10/2025).
Dia menekankan bahwa informasi seperti ini tak boleh menjadi fitnah karena dapat mendiskreditkan pegawai DPU Kukar yang telah bekerja dengan baik.
Ia juga mengimbau kepada media massa agar bekerja berdasarkan prinsip cover both side, yang menekankan konfirmasi kepada kedua belah pihak.
“Harus ada proses konfirmasi dari para pihak gitu. Jangan misalnya dapat isu, langsung naikkan jadi berita. Kan tugas kawan-kawan media kan mengolah data jadi informasi. Jangan misalnya berita yang belum terkonfirmasi, langsung naikkan jadi berita,” ucapnya.
Aulia mengaku tak ingin informasi seperti ini dapat berujung pada fitnah. “Kan kasihan orang-orang,” ujarnya.
Saat disampaikan bahwa media massa telah mengantongi bukti yang cukup atas adanya pungli dan setoran tersebut, dia menyarankan mereka menyampaikan bukti-bukti tersebut.
“Kalau memang ada bukti-bukti yang dimiliki oleh teman-teman, sampaikan untuk perbaikan kita semua,” sarannya.
Disinggung fenomena ini menjadi rahasia umum di Kukar, politisi PDI Perjuangan ini menekankan bahwa semua pihak harus bekerja berdasarkan prosedur yang berlaku.
Ia juga menyampaikan bahwa “rahasia umum” mestinya tak lagi menjadi rahasia karena sudah diketahui oleh publik.
“Kalau dibilang tadi rahasia umum, kalau sudah umum, bukan rahasia lagi namanya,” ujar Aulia sambil tertawa.
Dia kembali menekankan agar informasi ini tak menjadi fitnah kepada pihak-pihak yang telah bekerja dengan baik di lingkungan Pemkab Kukar.
“Kasihan. Orang-orang yang sudah bekerja dengan baik, dengan sebagaimana mestinya, itu difitnah gitu. Jadi, kalau menurut hemat saya, kalau memang ada masalah, disampaikan. Kalau memang ada buktinya, berikan,” tutupnya.
Keluhan Kontraktor
Seorang kontraktor mengeluhkan pungutan liar yang berdalih pengurusan administrasi kontrak proyek kerja sama dengan DPU Kabupaten Kukar.
Seorang kontraktor yang enggan disebut namanya menyebut tarif yang dikenakan beragam, antara Rp 3 juta, Rp 5 juta, hingga Rp 20 juta dalam satu kali kontrak.
“Dia minta di awal kontrak. Katanya untuk jilid dokumen kontrak,” ucapnya kepada awak media ini di Tenggarong pada Selasa (30/9/2025).
Besaran tarif tersebut dinilainya tidak masuk akal karena penjilidan berkas kontrak yang tak mencapai 50 lembar tak mungkin mencapai Rp 5 juta, apalagi hingga Rp 20 juta. “Berkasnya itu tipis aja,” ujarnya.
Proyek dengan nilai Rp 200 juta hingga Rp 400 juta dikenakan tarif Rp 3 juta. Sementara proyek senilai Rp 500 juta dipatok tarif Rp 5 juta. Sedangkan proyek bernilai di atas Rp 1 miliar, staf di dinas tersebut mengenakan tarif Rp 7,5 juta. “Itu untuk di awal kontrak aja,” bebernya.
Ia pun berharap pimpinan di dinas tersebut melakukan perbaikan serta memberikan sanksi tegas kepada para staf yang melakukan pungutan liar berdalih penjilidan berkas kontrak kerja sama pengerjaan proyek.
“Mereka kan sudah dapat gaji dan tunjangan. Apalagi sekarang kan sudah bukan honorer lagi. Rata-rata mereka sudah diangkat jadi PPPK, bahkan ada yang sudah PNS,” tutupnya.
Kepala Dinas PU Kukar Wiyono mengaku tak mengehui adanya pungutan tersebut. Pasalnya, dia tidak pernah memerintahkan bawahannya untuk memungut biaya dari para kontraktor.
“Saya sendiri pun enggak pernah minta sama kontraktor,” tegasnya kepada awak media Berita Alternatif saat ditemui di Pasar Tangga Arung pada Rabu (1/10/2025).

Ia mengaku akan mendalami masalah ini. Selama ini, para kontraktor tak pernah melaporkan kasus tersebut kepadanya. Kasus ini justru diketahuinya dari awak media ini.
Wiyono menyesalkan langkah kontraktor yang menyampaikan masalah ini kepada media massa. “Harusnya lapor ke saya, bukan ke media,” sesalnya.
Jika laporan ini diterimanya langsung dari kontraktor, dia bisa mengetahui lebih awal serta bisa mengambil langkah-langkah korektif.
“Kalau dari media, nanti ribut di media. Itu yang jadi masalah,” katanya.
Kasus seperti ini dinilainya sangat sensitif, sehingga ia tak dapat menjawab pertanyaan seputar langkah-langkah yang akan diambilnya untuk mengevaluasi masalah tersebut.
Meski begitu, Wiyono kembali menekankan bahwa dia tak pernah meminta uang sepeser pun kepada kontraktor yang bekerja sama dengan Dinas PU Kukar.
“Yang jelas saya enggak pernah meminta kepada teman-teman anu itu. Untuk meminta-minta itu enggak pernah,” bebernya.
Sebagai dinas pelayanan, dia menyebut seluruh perangkat di Dinas PU Kukar tak boleh meminta uang kepada kontraktor.
“Kita ini pelayanan. Kita ini layanan; memberikan pelayanan untuk proses anunya. Kalau itu enggak boleh; sebenarnya enggak boleh,” pungkasnya.
Budaya di Kukar
Pungli di lingkungan DPU Kabupaten Kukar bukan hal baru dan bahkan telah menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan.
Administratur Utama Komisariat Pusat Komite Transparansi Pembangunan Denny Ruslan menjelaskan bahwa pungli merupakan salah satu tindakan yang secara tidak langsung merugikan keuangan negara.
“Ada beberapa tindakan yang sebenarnya tidak secara langsung menimbulkan kerugian keuangan negara. Salah satunya adalah suap. Karena suap itu bukan uang negara, tetapi dampaknya di kemudian hari bisa merugikan masyarakat,” ujarnya sebagaimana dikutip dari kanal YouTube Alternatif Talks (berafiliasi dengan Berita Alternatif) pada Senin (27/10/2025).
Menurutnya, selain suap, ada juga bentuk pemerasan. Secara prinsip, pemerasan bukan melibatkan uang negara, tetapi uang dari pihak yang diperas. Namun, praktik seperti ini pada akhirnya juga bisa berimbas pada keuangan negara. “Jadi intinya, pasti ada pihak masyarakat yang dirugikan,” jelasnya.
Terkait istilah pungli, Denny menjelaskan bahwa konotasinya merujuk pada pungutan yang tidak resmi, yakni pungutan yang tidak diatur dalam ketentuan hukum.
Pungli bisa berubah menjadi pemerasan jika dilakukan oleh pihak yang memiliki kewenangan dengan tekanan tertentu.
“Kalau orang yang punya kekuasaan meminta sesuatu dengan ancaman tidak akan memproses atau melaksanakan sesuatu, maka itu termasuk pemerasan. Tapi kalau inisiatifnya datang dari pihak yang punya kepentingan—misalnya meminta agar sesuatu tidak diproses—maka itu termasuk suap,” ujarnya.
Ia menambahkan, pungli pada dasarnya adalah transaksi jasa yang tidak resmi. Contohnya seperti yang sering terjadi di lingkungan Dinas PU Kukar berupa jasa pembuatan dokumen, penjilidan, atau penyusunan kontrak.
“Karena tidak ada tarif resmi, akhirnya ada yang meminta bayaran sesuka hati. Kalau tidak diberi, pekerjaan tidak dijalankan. Nah, karena dilakukan oleh pihak yang punya kekuasaan, hal itu bisa dikategorikan sebagai pemerasan,” paparnya.
Dalam kasus lain, Denny mencontohkan praktik di luar ketentuan resmi seperti tarif parkir yang dinaikkan secara sepihak. “Misalnya tarif parkir resmi Rp 2.000, tapi diminta lebih. Itu juga termasuk pungli. Begitu pula kalau aparat meminta di luar ketentuan, bisa dikategorikan sebagai pemerasan,” ujarnya lagi.
Dia menilai bahwa praktik-praktik seperti ini bukan cerita baru, melainkan persoalan lama yang sudah menjadi rahasia umum.
“Kawan-kawan kontraktor itu sering tidak berani mengungkapkan hal seperti ini. Saya yakin ini tidak hanya terjadi di Kukar, tapi juga di kabupaten atau kota lain. Bahkan mungkin di tingkat provinsi. Ini sudah seperti budaya,” katanya.
Menurutnya, karena sudah menjadi budaya, sangat sulit memberantas praktik tersebut. Pasalnya, antara pemberi dan penerima tak bersedia berbicara secara terbuka.
“Yang meminta biasanya penyelenggara negara, sedangkan yang memberi adalah kontraktor yang mendapat proyek dari uang negara. Jadi, dua-duanya sama-sama terlibat,” tegasnya.
Ia juga menjelaskan bahwa dampak akhirnya tetap dirasakan masyarakat. Efeknya akan terlihat pada hasil pekerjaan. Karena dana banyak keluar di awal untuk pungli, maka pelaksanaan di lapangan sering tidak maksimal. Walaupun awalnya bukan uang negara, ujungnya tetap merugikan masyarakat.
Ia pun mengimbau agar praktik semacam ini segera dihentikan, khususnya di lingkungan Dinas PU Kukar.

Kebiasaan seperti ini, tegas Denny, harus segera dihentikan meskipun akan sulit untuk mengubahnya.
“Ini sudah jadi kebiasaan sejak lama, karena budaya kita memang sulit diubah. Aparat penegak hukum pun sebenarnya tahu soal ini, tapi mungkin dianggap kasus kecil, jadi dibiarkan,” katanya.
Ia mengaku pernah melaporkan kasus serupa, namun tidak ditindaklanjuti. Denny menduga aparat penegak hukum memerlukan dana yang tak sedikit untuk menangani kasus tersebut.
“Mungkin karena menangani kasus korupsi itu butuh biaya besar, bukti konkret, dan tenaga ahli. Jadi, sering kali kasus seperti ini berhenti di tengah jalan,” ujarnya.
Dia menyesalkan lemahnya efek jera terhadap pelaku pungli. Karena itu, ia menyarankan, bila tidak dilanjutkan ke proses hukum, seharusnya ada pembinaan dari instansi terkait, misalnya melalui teguran atau mutasi.
“Tapi yang jadi masalah, kadang bawahan hanya menjalankan perintah atasan. Kalau atasannya juga menerima setoran, maka susah diharapkan ada tindakan tegas,” ujarnya. (*)
Penulis: Ulwan Murtadha
Editor: Ufqil Mubin









