Search

Puisi-Puisi Ujianto Sadewa

Ujianto Sadewa. (Dok.Pribadi)

Puisi Ujianto Sadewa

Belum Tengah Malam di Bandung Utara

Aku mengetuk tuts mesin tik tua yang kusam
Pada suatu zaman,
Memijat kata-kata yang pegal
Karena insomnia

Listrik sering dimatikan
Coretan di tembok toilet dan mural-mural
Berloncatan dari halaman-halaman buku

Malam adalah lapar
diganjal tulisan pagi di perpustakaan

2019

Puisi Ujianto Sadewa
Belum Tengah Malam di Pantai Cilacap

akar waktu merambat ke silam
pada kesedihan atau semacam kenangan
bocah itu, dalam sebuah geladak kapal kolonial

mungkin ia tumbuh begitu jauh pada sauh
benggol-benggol di bawah bantal kasur ibu
seperti tahun tahun setelahnya yang ia bungkus
bersama bacin aroma pasar dan telur asin

seperti airmata yang berjaga
yang ia miliki adalah kenangan
menjadi onggok-onggok detik
dan semua ombak dan deburnya
masih berdenyut hangat
di dalam nadinya separuh hidup

muara darah berakhir di pasir tanah
kenangan pada yang tiada
telah berubah wujud lain
tak terjamah

2018

Puisi Ujianto Sadewa
Belum Tengah Malam di Sukabumi

Hujan masih hujan yang sama di Sukabumi
seorang penyair dan mimpinya
ia susuri rel dan pematang sawah
juga jembatan sungai atau jalanan kota

Di kota ini Andries de Wilde juga bermimpi
menemukan nyenyak-senyap pada teh dan kopi

Seperti kota ini yang dikepung ruko
dan truk-truk malam lalu-lalang
seperti monster aligator raksasa

2019

Puisi Ujianto Sadewa

Belum Tengah Malam di Kamojang

Deret pinus masih melingkar di ubun-ubun kabut,
matanya dua kawah kecil memantulkan nyala
dari tungku geotermal yang digambar peta dan tanjakan

Angin mendesis
menyusuri lembah, menggiring aroma
belerang melewati warung atap seng
seperti kenangan
menempel di langit-langit biografiku

Seperti lirik yang kehilangan koda,
tersesat dalam korus tanah panas
yang mengalir di bawah kaki Kamojang.

Aku dengar deru turbin seperti suara masa lalu
yang dilumuri gemuruh kawah
dan pekik elang betina mencari sarang.

Sebelum malam benar-benar tiba,
Kau memindai dan menyalin bentuk tubuh elang itu
ke dalam ceruk mataku:
sayapnya seperti lembaran doa malam: peta tak selesai

cakarmu paragraf keras
dari bab sejarah yang direvisi
oleh traktor, dan skema pembangunan.

Kamojang dan bentang alammu,
adalah album kenangan terbuka:

di dalamnya ada ruap panas ke bumi

desir sunyi
yang dikirim dari perut bumi
menerjemahkan
tubuh elangmu

Belum tengah malam di Kamojang,
jejaknya seperti
puisi yang tak ingin selesai.

2025

Puisi Ujianto Sadewa

Napas Uap dan Ingatan Batu Tua

Di Kamojang, bumi menyimpan tenang,
uap mengepul dari celah seperti bisik kolonial
datang membawa peta, menyusun angka panas
pada bukit sunyi tak berbahasa.

1918: Belanda menusuk tanah dengan logam
mencari jantung bumi yang berdetak dalam kabut,
dan Kamojang menjelma laboratorium pertama
untuk mimpi-mimpi yang diukur dengan tekanan.

Garut pun tumbuh dengan nyala
turbin-turbin berputar seperti doa industrial,
sementara elang tetap terbang, tak peduli sejarah
atau kontrak-kontrak yang dicetak dalam salinan.

Di balik mesin, masih ada suara
dari akar dan kabut yang belum selesai berkata.

2025

Puisi Ujianto Sadewa

Belum Tengah Malam Menonton Film Kuldesak

1

Hariolus Hilarious merangkai malam dari kabel listrik dan suara grunge
Menjahit luka Jakarta di jaket kulitnya,
mengendarai VHS rusak yang hanya bisa mundur.
Televisi adalah ibu tanpa saluran lokal.
Menggambar masa depan di tembok toilet stasiun
dengan spidol yang habis nadanya.

2

Seperti film yang kehilangan salinan aslinya
Menari di antara suku kata iklan dan puisi yang salah cetak.
Ia mencari suara sendiri di balik teriakan radio.
Di kamarnya: poster Kurt Cobain seperti konten galeri seni
yang mimpinya dikejar deadline yang tak pernah dikirimkan.

3

Mimpi dari bongkahan arcade
dan trauma tak tersensor.
Tangannya gatal menyentuh kemungkinan,
tapi selalu tersandung kapital dan koneksi.
Ia menggali utopia dari lubang-lubang kaset bajakan
yang berkarat karena hujan makian

4

Dengan peta kota yang dilipat seribu kali.
Setiap kartu berkata: jalan buntu.
Ia bicara dengan suara dalam telepon umum
yang tak pernah diangkat.
Mencari tanda di graffiti—huruf-huruf miring
seperti hidupnya yang tak bisa lurus.

5

Minimarket tengah malam di bawah lampu neon
yang berpendar seperti tanda tanya tak selesai.
Rindu mereka pada makna yang lebih samar dari subtitle film impor.
Menonton mereka seperti mencium parfum
yang dibeli dari stasiun kereta—murah dan mengingatkan.

6

Langit Jakarta tak pernah gelap total.
Ada nyala bioskop tua yang tetap menyala
meski listriknya dicuri dari koperasi harapan.
Mereka adalah suku-suku minor
yang menari di atas kasur tipis
dengan lagu Blur dan Smashing Pumpkins
sebagai kursi taman pinggir jalan.

7

Wajah mereka seperti folder pdf koran bekas,
ditumpuk di pojok ruangan yang sudah jadi gudang.
Mereka tak pernah tahu cara menang
karena tak ada perlombaan yang ditulis untuk mereka.
Cuma kaset kosong dan cerita yang dibacakan pelan,
di ruang-ruang sempit tanpa pintu darurat.

8

Seperti lampu kuning di persimpangan
yang mereka lewati sambil menutup mata.
Mereka bukan gagal, hanya lahir terlalu cepat
untuk internet, dan terlalu lambat untuk revolusi.
Setiap hari mereka berlatih bertahan
dengan kosa kata patah
dan gaya rambut yang tak diizinkan sekolah.

9

Kuldesak adalah alamat rumah yang tak bisa dikirim surat.
Tak ada kurir untuk mimpi generasi yang diarsipkan
dalam pita-pita magnetik yang lupa diputar balik.
Mereka menonton diri sendiri seperti rerun
tanpa jeda iklan, tanpa jeda harapan.

10

Dan belum tengah malam saat layar menyala,
dan aku melihat manusia-manusia
cermin dengan retak kecil
pas di tulang pipi sendiri.
Generasi yang masih tinggal di kerutan suara
dan playlist yang tak bisa di-shuffle.
Mereka belum pergi, hanya pindah ke dalam saya.

2025

Biodata Penyair

Ujianto Sadewa, dilahirkan di Bandung, 16 Desember 1977. Menulis puisi, cerpen, esai,
dan novel. Alumnus Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP (UPI) Bandung.
Tulisannya telah dipublikasikan di beberapa media cetak dan internet. Buku kumpulan puisinya yang telah dibukukan bersama penyair lain, antara lain; Ketika Matahari, Antologi Puisi Penyair Asas (ASAS, 1998), Dian Sastro for President, End of Trilogy (Insist, Yogyakarta, 2005) , Roh, Antologi Puisi Penyair Jawa Barat dan Bali (Bukupop, Jakarta, 2005), Di atas Viaduct, Puisi tentang Bandung (FSB dan Kiblat, 2009), Ziarah Kata (Majelis Sastra Bandung, 2010), Negeri Langit (KosaKataKita, 2014), Menapak
Ke Arah Senja, Sepilihan Puisi Sastra Digital 2011-2014 (CreateSpace Independent Publishing Platform; Edisi 1, Juli 2015), (Edisi playstore/ buku digital, Juni 2017), Kota Kubur Terbuka, puisi dan cerpen MPU XI, Trubadur, 2017), Kepada Toean Dekker (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lebak, 2018), Numera Bersayap Harapan, Antologi Puisi Asia Tenggara (Tulus Pustaka, Oktober 2018). Buku puisi tunggal yang telah terbit Aligator Merangkak Sajak (asasupi,2016). Sejumlah puisinya pernah dibacakan Suara Indonesia Radio Deutsche Welle Jerman, di CCF de Bandung, dan di Gedung Rumentang Siang Bandung. Pernah mengelola Jurnal Sastra RajaKadal berbentuk zine sejak tahun 2003. Pada tahun 2017 diundang pada Temu Sastra Mitra Praja Utama 2017 di Lembang, mewakili Provinsi Jawa Barat bersama beberapa penyair dan penulis prosa Indonesia lainnya. Pada tahun 2018 mengikuti Festival Seni Multatuli di Rangkasbitung. Pada 2019, mengikuti acara Malam Sastra Balai Bahasa Jawa Barat di Bandung. Diundang sebagai juri Festival Musikalisasi Puisi di Balai Bahasa Jawa Barat pada 2023, 2024 dan 2025.

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

BACA JUGA

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA