Oleh: Lutpi Aulia
Mungkin kelabu menjadi bagian paling gemuruh yang menorehkan legam pada sekat senyap mu
Mengutuk celah untuk menjamah agar aku senantiasa memupuk ragu
Namun di atas beranda
Sekotak bualan seketika sigap kau sajikan
Mencekam lalu merayu kekeliruan
Seolah kesungguhan bisa saja tercabik nahas hanya dengan satu tegukan
Kutafsirkan engkau sebagai hal yang tak pernah mengemban makna
Setelah aku terjerembab di atas khayal perihal kita
Yang tak pernah tertulis diantara ranah semesta
Karna ketika nada mayor dari orkestra romansa sudah tak lagi bernyawa
Benda benda di sekitarku seolah bersuka cita
Menertawakan alam sadar ku yang tengah berbelasungkawa
Aku tetap tak relevan
Bahkan sekepal kasih tak pernah kau pertimbangkan
Hiraukan segala rapal yang kau janjikan pada penenun syair dini hari
Kendati jika kau ingin ia mati
senja itu akan memenggal nadinya sendiri
Sukabumi 27 Juni 2025
DALAM SEDUHAN SAJAK
Senja membasah dalam secangkir teh di atas dipan
Menggiring mendung, menghalau riak kerinduan
Mengalir di atas jejak yang bergegas kering
Yang menenggelamkan kata pada lautan bising
Ku selipkan segelintir diantara butir
Ku jamah makna diantara getir
Diksi diksi menari mengikuti imaji abstrak
Larut diantara waktu yang membawanya bergerak
Dalam seduhan sajak yang tak lagi hangat
Penyair memaknai dingin sebagai penat
Seperti daun yang terjerembab di sapu badai
Ataukah kita yang tak pernah berencana sampai
Sukabumi 13 Juni 2025
SECANGKIR PUISI SEBELUM TERLELAP
Malam ini, angin berdesir menepi dingin
Sedang engkau masih betah bercumbu dengan geming
Menelisik langit-langit diantara lintang dini hari
Menanti inspirasi yang tak juga menjumpai
Lalu kusaji secangkir puisi di hadapmu
Uapnya menyebar, hangat mendekap syahdu
Warnanya tak terlalu legam untuk menguliti arti
imaji menyeruak bagai semerbak bunga melati
Silahkan saja teguk dengan lahap
Kemudian lebih banyak agar resah mu bisa terlelap
Seduhlah sebanyak yang kau butuh malam ini
Biarlah benih puisi mengakar pada dinding-dinding sanubari
Sukabumi, 08 Juni 2025
KERING LALU TERKIKIS
Di persimpangan gerimis menuju reda
Setiap yang jatuh diantaranya melahirkan kata
Dibiarkan kering lalu terkikis
Hancur lebur kemudian diguyur habis
Ia kerap menjanjikan rasa yang hangat
Menjadi harmoni di setiap aroma yang pekat
Manis lembut, pahit samar
Merambat pada nadi-nadi yang kian sukar
Setiap prosa merajut sebilah makna
Setiap kata mengalirkan cita rasa
Entah lezat maupun hambar
Wujudnya nyata dan tak pernah pudar
Sukabumi, 14 Juni 2025
BIOGRAFI PENULIS
Lutpi Aulia, gadis pecinta hujan, puisi, musik dan senja ini lahir di Sukabumi pada tanggal 26 Maret. Jatuh cinta pada dunia sastra sejak ia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Saat ini ia aktif di Komunitas Pegiat Sastra Smanjak (KPPS) Sukabumi. Gemar berkontribusi dalam berbagai event cipta puisi. Beberapa karyanya telah dimuat dalam buku antologi, diantaranya Antologi Puisi Ijen Purba (2024) Antologi Puisi Merdeka Puisi (2024) dan Antologi Puisi Lewatlah Gelap Terbitlah Terang (2025).