Search

Pedang Bermata Dua: Bagaimana Boomerang Sanksi Justru Berbalik ke Arah Amerika Sendiri

Kebijakan sanksi Amerika Serikat terhadap berbagai negara—dari Iran dan Venezuela hingga Rusia—kini telah berubah menjadi boomerang yang menyerang balik Washington sendiri. Kebijakan ini tidak hanya mengguncang ekonomi AS, tetapi juga merusak kredibilitas global dan melemahkan dominasi dolar di sistem keuangan dunia. (Mehr News)

BERITAALTERNATIF – Pada awal bulan ini (November), pemerintahan Trump kembali memberlakukan sanksi terhadap dua perusahaan minyak raksasa Rusia, Rosneft dan Lukoil. Langkah tersebut, yang menurut Menteri Keuangan AS Scott Bessant dilakukan karena Rusia dianggap tidak berkomitmen terhadap proses perdamaian di Ukraina, menegaskan bahwa Washington belum bisa melepaskan diri dari kebijakan sanksi yang sudah menjadi ciri khasnya. Ini hanyalah bab terbaru dari kisah panjang ketergantungan Amerika pada sanksi ekonomi sebagai alat politik global.

Data resmi menunjukkan bahwa jumlah sanksi aktif yang dijatuhkan AS meningkat drastis—dari 912 pada tahun 2000 menjadi 9.421 pada tahun 2021, dan jumlahnya terus bertambah. Namun, apa yang dulu dipromosikan Washington sebagai “alternatif damai” untuk menghindari perang dan sebagai alat mengubah perilaku negara lain, kini berubah menjadi pedang bermata dua. Biaya besar kini justru ditanggung sendiri oleh Amerika, mulai dari meningkatnya inflasi dalam negeri, hilangnya peluang ekspor, menurunnya kredibilitas diplomatik, hingga terkikisnya hegemoni dolar yang selama puluhan tahun menjadi senjata utama AS.

Kecanduan Sanksi: Permainan yang Sama-Sama Merugikan

Iran menjadi target pertama sanksi ekonomi Amerika sejak tahun 1979, setelah penyanderaan di Kedutaan Besar AS di Teheran. Pemerintahan Jimmy Carter saat itu membekukan sekitar 8,1 miliar dolar aset Iran dan memberlakukan larangan perdagangan besar-besaran. Langkah ini menjadi awal dari kebijakan panjang selama lebih dari empat dekade. Di era Trump, kebijakan “tekanan maksimum” terhadap Iran yang dimulai tahun 2018 setelah keluar dari perjanjian nuklir (JCPOA), menjadi bentuk paling ekstrem dari sanksi ekonomi modern.

Menurut laporan Kongres AS, Iran hanyalah satu dari lebih dari 30 negara yang menjadi sasaran sanksi baru antara 2018 hingga 2025. Venezuela berada di bawah embargo penuh sejak 2019, sementara Kuba telah hidup dalam blokade ekonomi selama lebih dari 60 tahun. Negara lain seperti Korea Utara, Suriah, Myanmar, Sudan, Yaman, dan Belarus juga termasuk dalam daftar panjang korban kebijakan sanksi Washington.

Langkah terbaru terhadap Rosneft dan Lukoil pada 22 Oktober 2025 menunjukkan bahwa kebijakan sanksi tetap menjadi pilihan utama Gedung Putih. Kedua perusahaan itu, yang menguasai sekitar setengah produksi minyak Rusia dan dua persen dari pasokan minyak dunia, kini dimasukkan ke daftar “SDN” atau Daftar Warga Negara yang Ditunjuk Khusus. Bahkan perusahaan asing yang bertransaksi dengan mereka pun bisa ikut terkena sanksi sekunder.

Namun, penelitian lembaga Peterson Institute for International Economics menunjukkan sisi lain yang jarang dibahas: sanksi-sanksi Amerika merugikan ekonomi AS sendiri hingga 15 miliar dolar setiap tahun. Banyak perusahaan kehilangan pasar ekspor dan harus menanggung lonjakan biaya operasional. Setelah sanksi terbaru terhadap perusahaan Rusia diumumkan, harga minyak dunia naik sekitar lima persen dan langsung berdampak pada harga bahan bakar di AS, yang pada gilirannya menurunkan tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Trump.

Efek Domino Sanksi terhadap Dunia dan Amerika Sendiri

Sanksi energi terhadap Rusia setelah invasi 2022 ke Ukraina menjadi contoh paling nyata dari efek balik kebijakan tersebut. Eropa, terutama Jerman, mengalami pukulan berat. Pada Maret 2022, indeks kepercayaan investor Jerman anjlok ke -39,3 dari 54,3 hanya sebulan sebelumnya. OECD memperkirakan sanksi terhadap Rusia mengurangi pertumbuhan ekonomi global sebesar satu persen dan menambah inflasi dunia sekitar dua persen. Akibatnya, bukan hanya negara yang dijatuhi sanksi yang menderita, tetapi juga sekutu-sekutu Amerika sendiri.

Banyak perusahaan AS kehilangan reputasi di pasar internasional karena dianggap “pemasok yang tidak dapat dipercaya”. Bahkan setelah sanksi dicabut, banyak perusahaan asing tetap enggan bekerja sama karena takut sanksi akan diberlakukan lagi di masa depan. Fenomena ini dikenal dengan istilah “efek noda”, yang menyebabkan kerugian jangka panjang jauh melebihi dampak ekonomi jangka pendek.

Melemahnya Dolar dan Munculnya Sistem Keuangan Alternatif

Dampak paling berbahaya dari politik sanksi Amerika adalah melemahnya dominasi dolar. Berdasarkan data IMF, porsi dolar dalam cadangan devisa global turun dari 72 persen dua dekade lalu menjadi 59 persen pada 2024, dan bahkan 57,8 persen di akhir tahun itu. Tren ini terus menurun karena semakin banyak negara mencari cara untuk mengurangi ketergantungan pada dolar.

Kelompok BRICS yang kini beranggotakan 10 negara, termasuk Iran, Indonesia, dan Uni Emirat Arab, tengah mengembangkan sistem keuangan baru yang tidak bergantung pada dolar. China dan Rusia telah melakukan lebih dari separuh perdagangan bilateral mereka menggunakan yuan dan rubel. India dan Iran bahkan telah bertransaksi hingga 95 persen dalam mata uang nasional masing-masing. Selain itu, sistem pembayaran lintas negara China (CIPS) terus tumbuh cepat dan kini mencakup ribuan lembaga keuangan di lebih dari 180 negara, menjadi pesaing nyata bagi sistem SWIFT yang dikuasai Barat.

Selain itu, proyek “BRICS Pay”—sistem pembayaran digital lintas batas berbasis blockchain—sedang dikembangkan untuk memungkinkan transaksi langsung dengan mata uang lokal tanpa harus menggunakan dolar. Bank Pembangunan Baru (NDB) milik BRICS juga mulai memberikan pinjaman dalam mata uang lokal tanpa syarat politik seperti yang diterapkan IMF, memberi ruang bagi negara berkembang untuk menghindari risiko utang dolar.

Pasar emas global juga menunjukkan tren serupa. Dewan Emas Dunia melaporkan bahwa bank-bank sentral membeli 244 ton emas hanya dalam tiga bulan pertama 2025, menjadikannya periode pembelian tertinggi dalam beberapa dekade terakhir. Sekitar 95 persen dari bank sentral dunia bahkan berencana untuk menambah cadangan emasnya — tanda nyata bahwa negara-negara tengah mencari “tempat aman” di luar sistem dolar.

Dari Isolasi Diplomatik hingga Retaknya Aliansi Barat

Sanksi yang berlebihan juga mulai merusak hubungan Amerika dengan sekutu tradisionalnya. Uni Eropa, yang pada awalnya ikut mendukung sanksi terhadap Rusia, kini mengeluh karena biaya ekonomi yang harus mereka tanggung sangat besar. Industri Jerman, Prancis, dan Italia kehilangan pasar dan terpaksa memangkas produksi.

Hukum Helms-Burton dan ILSA (Iran and Libya Sanctions Act) yang menargetkan perusahaan asing di Kuba, Iran, dan Libya, juga membuat Eropa dan Kanada marah. Mereka menilai kebijakan AS sebagai bentuk “campur tangan ekonomi” terhadap kedaulatan negara lain. Pada 2018, Komisi Eropa bahkan mengaktifkan kembali aturan “pemblokiran” tahun 1996 yang bertujuan untuk meniadakan efek hukum sanksi AS terhadap Iran.

Fakta menunjukkan bahwa efektivitas sanksi Amerika sangat rendah. Menurut penelitian Peterson Institute, tingkat keberhasilan sanksi sepihak AS menurun drastis dari lebih dari 50 persen sebelum 1970-an menjadi hanya 13 persen setelah 1990. Dalam banyak kasus, sanksi justru memperkuat pemerintahan negara target dan mempererat hubungan antarnegara yang terkena sanksi, seperti Iran, Rusia, China, dan Venezuela. Negara-negara tersebut kini saling membantu melalui kerja sama ekonomi dan sistem keuangan alternatif.

Akhirnya, bahkan di dalam negeri Amerika sendiri, banyak warga yang mulai mempertanyakan manfaat sanksi. Survei menunjukkan meningkatnya ketidakpercayaan publik terhadap kebijakan luar negeri yang dianggap hanya memperburuk ekonomi domestik. Trump pun sempat mengakui pada Juni 2025: “Setiap kali saya menjatuhkan sanksi pada sebuah negara, Amerika harus membayar mahal.”

Kesimpulan

Setelah puluhan tahun mengandalkan sanksi sebagai alat tekanan global, Amerika kini menghadapi kenyataan pahit: senjata yang diciptakannya mulai menyerang balik. Dampak ekonomi—seperti kerugian tahunan 15 miliar dolar, inflasi yang meningkat, menurunnya ekspor, dan kehilangan mitra dagang—semakin terasa. Sekutu Eropa pun mulai menjaga jarak, sementara kredibilitas diplomatik Washington terus menurun.

Yang lebih parah, dominasi dolar di dunia perlahan terkikis, dan negara-negara mulai membangun sistem keuangan baru yang bebas dari kontrol Amerika. Dinding kekuatan yang selama satu abad dibangun Washington kini mulai runtuh, dan pedang sanksi itu telah berbalik arah, melukai tangan yang dulu mengayunkannya. (*)

Sumber: Mehr News
Penerjemah dan Editor: Ali Hadi Assegaf

 

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

BACA JUGA

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA