Search

Mengapa Rencana Perdamaian Trump untuk Asia Barat Terlihat Konyol

Klaim Amerika Serikat sebagai negara pencinta perdamaian, terutama di era Donald Trump, hanyalah sebuah kontradiksi yang nyata. Bagaimana mungkin dunia bisa berharap pada negara yang menjadi penjual senjata terbesar di dunia untuk memimpin perdamaian? (Mehr News)

BERITAALTERNATIF – Trump dalam berbagai pidatonya sering mengatakan bahwa ia ingin menyelamatkan Asia Barat dari perang dan ketidakamanan, serta menciptakan perdamaian abadi di kawasan itu. Namun, klaim tersebut lebih tampak sebagai upaya untuk memperbaiki citra Amerika dan memperoleh keuntungan baru di wilayah yang justru menjadi tidak stabil karena ulah mereka sendiri. Perdamaian yang dijanjikan Trump bukanlah perdamaian yang berlandaskan keadilan atau keseimbangan kekuasaan, melainkan bentuk pemaksaan kehendak Amerika Serikat atas bangsa-bangsa di kawasan itu.

Kebijakan Intervensi dan Warisan Perang Amerika

Sejak serangan 11 September 2001, arah kebijakan luar negeri Amerika berubah dari bersifat pencegahan menjadi intervensi langsung yang berorientasi militer. Dengan alasan memerangi terorisme, Washington memperluas kehadiran militernya di berbagai negara. Invasi ke Afghanistan pada 2001 dan serangan ke Irak pada 2003 menjadi dua contoh utamanya. Kedua langkah ini diklaim untuk memberantas terorisme dan menegakkan demokrasi, tetapi kenyataannya justru menghancurkan institusi negara, merusak struktur sosial, dan menciptakan kekosongan kekuasaan yang kemudian melahirkan ekstremisme baru.

Kelompok-kelompok seperti Al-Qaeda dan ISIS muncul dari kekacauan yang ditinggalkan oleh intervensi Amerika. Di Irak, misalnya, keputusan Paul Bremer—perwakilan AS—untuk membubarkan seluruh struktur militer dan pemerintahan membuat jutaan orang kehilangan pekerjaan dan arah hidup, hingga banyak di antaranya bergabung dengan kelompok pemberontak. Di Afghanistan, setelah dua puluh tahun perang tanpa hasil jelas, Amerika justru pergi begitu saja, meninggalkan negara itu di bawah kekuasaan Taliban—kelompok yang dulunya menjadi alasan mereka memulai perang.

Pengalaman-pengalaman pahit ini menunjukkan bahwa Amerika tidak hanya gagal menciptakan perdamaian dan stabilitas, tetapi juga menciptakan siklus kekacauan yang tak berujung. Bahkan beberapa pejabat tinggi AS sendiri kini mengakui bahwa kehadiran militer mereka selama dua dekade di Timur Tengah tidak menghasilkan apa-apa selain kerusakan ekonomi dan politik.

Selain itu, dukungan penuh Washington terhadap rezim Zionis menjadi faktor utama yang memperparah kekerasan di kawasan. Dengan mengirim miliaran dolar bantuan militer setiap tahun, Amerika secara langsung turut bertanggung jawab atas pembunuhan warga Palestina. Dalam dua tahun terakhir, lebih dari 67 ribu warga Palestina telah gugur akibat serangan rezim Zionis, dan ratusan ribu ton bom buatan Amerika dijatuhkan di Gaza. Alih-alih menghentikan kejahatan ini, Amerika justru berulang kali memveto resolusi gencatan senjata di Dewan Keamanan PBB. Akibatnya, Timur Tengah semakin terjerumus dalam kekerasan, ketidakpercayaan, dan kehancuran tanpa akhir.

Trump dan Gaya “Pencinta Damai”-nya

Kini Trump tampil seolah menjadi penyelamat dan berbicara tentang “Perdamaian Besar Timur Tengah.” Namun jika diperhatikan lebih dalam, retorika itu hanyalah kelanjutan dari kebijakan lama Amerika, hanya saja dibungkus dengan gaya diplomasi yang lebih halus. Trump berusaha memanfaatkan krisis di kawasan sebagai peluang untuk mengembalikan pengaruh geopolitik Amerika, sambil menciptakan citra baru bahwa negaranya adalah penengah yang bijak.

Padahal, niat sebenarnya bukan untuk mengurangi pengaruh militer atau mundur dari kawasan. Trump hanya ingin mengubah bentuk dominasi Amerika dari yang bersifat keras (militer) menjadi yang bersifat lembut (politik dan ekonomi). Dengan kata lain, ia menggunakan “perdamaian” sebagai alat untuk melanjutkan pengaruh lama dalam bentuk baru.

Kebijakan ini pernah ia jalankan dalam periode pertamanya sebagai presiden melalui “Kesepakatan Abraham,” yang disebut-sebut sebagai terobosan perdamaian antara beberapa negara Arab dan rezim Zionis. Namun kesepakatan itu hanyalah perdamaian semu—karena inti masalah, yaitu penjajahan atas Palestina, sama sekali tidak diselesaikan.

Perdamaian yang dimaksud Trump sejatinya adalah perdamaian tanpa keadilan. Ia ingin hubungan negara-negara Arab dengan rezim Zionis tampak normal, sementara rakyat Palestina masih terjajah dan Gaza hancur berkeping-keping. Bahkan ketika sesekali Trump terlihat menegur kebijakan Israel, itu bukan karena rasa kemanusiaan terhadap warga Palestina, melainkan demi menjaga agar Israel tidak bertindak terlalu ekstrem hingga merusak tatanan regional yang diinginkan Amerika. Dalam permainan ini, Trump menampilkan diri sebagai pahlawan perdamaian, agar bisa memetik keuntungan dari dua sisi: memperoleh dukungan negara-negara Arab sekaligus memastikan loyalitas rezim Zionis.

Di balik topeng perdamaian itu, tetap tersembunyi logika klasik kehadiran Amerika di kawasan: menguasai sumber daya energi, menahan pengaruh negara pesaing seperti Cina, Rusia, dan Iran, serta menjamin keamanan Israel. Karena itu, klaim Washington bahwa mereka datang membawa perdamaian hanyalah kelanjutan dari kebijakan lama yang justru membuat Asia Barat terus terbakar.

Kesimpulan

Klaim Amerika sebagai pembawa damai, khususnya di masa Trump, hanyalah ilusi. Tidak mungkin negara yang menjual senjata paling banyak di dunia dan memiliki pangkalan militer di lebih dari 80 negara bisa menjadi simbol perdamaian. Amerika selama ini hidup dari menciptakan dan mengelola krisis, bukan menyelesaikannya. Mereka menyalakan api, lalu berpura-pura datang untuk memadamkannya, agar tetap punya alasan untuk menetap dan mengontrol kawasan. Trump hanyalah versi baru dari strategi lama itu—dengan kata-kata yang lebih manis dan gaya yang lebih populis.

Perdamaian sejati hanya akan terwujud jika bangsa-bangsa di kawasan dapat menentukan masa depan mereka sendiri, tanpa campur tangan kekuatan asing. Selama Amerika masih menganggap dirinya sebagai hakim, polisi, dan penyelamat dunia, Asia Barat tidak akan pernah benar-benar damai.

Dengan demikian, rencana “perdamaian” yang ditawarkan Trump bukanlah upaya untuk mengakhiri perang, melainkan cara lain untuk mempertahankan dominasi. Sejarah telah membuktikan bahwa tak ada kekaisaran yang bisa menciptakan perdamaian abadi dengan menindas bangsa lain. Timur Tengah membutuhkan perdamaian yang lahir dari kehendak rakyatnya sendiri—perdamaian yang dibangun atas dasar keadilan, saling menghormati, dan kerja sama antarnegara, bukan dari doktrin kekuasaan yang datang dari Washington. (*)

Sumber: Mehr News
Penerjemah dan Editor: Ali Hadi Assegaf

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

BACA JUGA

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA