Search

Ibnu Taimiyah: Hiposentrum Teologi Kekerasan

Penulis. (Istimewa)

Oleh: Dr. Muhsin Labib*

Bila mencari info tentang akidah dan hukum Islam dengan keyword bahasa Arab di internet, biasanya yang muncul pada tiga halaman pertama adalah situs-situs Islam berbahasa Arab yang sebagian besar tidak merujuk kepada pendapat teologis Asy’ari dan pendapat Syafii, tapi fatwa-fatwa agamawan tenar yang dianugerahi gelar “Syeikhul-Islam” (Guru Islam). Namanya adalah Ahmad bin Abdul Halim putra wanita dari suku Taim.

Ibnu Taimiyah (1263–1328 M) adalah sosok yang tak bisa dilepaskan dari dua narasi: sebagai ulama produktif yang mengukuhkan literalisme teks, sekaligus inspirator utama gerakan ekstremis modern. Karya-karyanya dianggap sebagai referensi dan dasar legitimasi kekerasan yang memakan banyak korban.

Advertisements

Literalisme dan Klaim Pelindung Sunnah

Dengan puluhan ribu halaman tulisan, termasuk Majmu’ al-Fatawa (37 jilid), produktivitas Ibnu Taimiyah tak diragukan. Namun, kedalaman intelektualnya menuai kritik. Dua hal utama menjadi sorotan:

Pertama, penolakan terhadap rasionalitas. Dengan mencampakkan filsafat Yunani, ilmu kalam, dan tafsir alegoris, Ibnu Taimiyah memilih literalisme teks dan manhaj salaf. Bagi banyak pemikir, ini membatasi ruang interpretasi dan mengabaikan warisan rasional Al-Farabi atau Ibnu Sina.

Kedua, retorika bombastis. Gaya debatnya keras, repetitif, dan mengandalkan banjiran kutipan ayat-hadis. Ini dianggap sebagai upaya mengubur kelemahan argumen melalui kuantitas, bukan kualitas.

Klaim “penguasaan literatur brilian” oleh pendukungnya tak sepenuhnya menutupi kelemahan metodologisnya. Keterampilan menghimpun teks (hifzh al-nushush) yang banyak tidak menjamin kedalaman atau validitas. Tanpa rasionalitas, deretan teks hanyalah intimidasi efektif bagi awam.

Intoleransi terhadap Berbagai Mazhab

Ibnu Taimiyah tidak hanya intoleran terhadap Syiah yang memang berlawanan dengan tekstualisme, tapi juga bersikap keras bahkan kadang kasar terhadap sesama Sunni yang dicapnya tidak mengikuti nash (menggunakan logika), menyimpang dari garis salaf dan terpengaruh oleh rasionalisme (filsafat) dan esoterisme (batiniah, sebutan sinis terhadap tasawuf). Dia mengkritik fikih Syafii, akidah Asy’ari, dan Tasawuf Ghazali. Kritiknya yang keras membuatnya dipenjara beberapa kali, bahkan oleh penguasa Sunni.

Kritik terhadap Mazhab Syafi’i

Meski berakar pada tradisi Sunni, Ibnu Taimiyah yang menganut mazhab Hanbali dalam fikih kerap mengkritik pendapat fikih mazhab Syafi’i, terutama dalam metode istinbath hukum.

Pertama, menolak doktrin taqlid dan menyerukan kembali kepada Alquran, hadis, dan pemahaman salaf.

Kedua, menolak pendapat fuqaha Syafi’iyyah yang dianggapnya bergantung kepada qiyas (analogi) atau istihsan (preferensi hukum). Contoh spesifik: Dalam Majmu’ al-Fatawa (jilid 20, hlm. 364), ia mengkritik Syafi’i dalam masalah talak bid’i (talak yang diucapkan di luar ketentuan syar’i), dengan argumen (baca: dakwaan) bahwa pendapat Syafi’i bertentangan dengan hadis sahih.

Penolakan terhadap Akidah Asy’ari

Sebagai penganut mazhab Salafi dalam akidah Ibnu Taimiyah tak segan-segan melancarkan kritik-kritik pedas terhadap mazhab Asy’ari yang dianut mayoritas Sunni.

Pertama, menentang teologi Asy’ari (yang dianut mayoritas ulama Sunni saat itu) karena dianggapnya terlalu rasionalis: Menggunakan metode kalam (teologi spekulatif) seperti ta’wil (interpretasi metaforis) terhadap sifat-sifat Allah (misal: menolak konsep “tangan Allah” secara harfiah).

Kedua, mengkritik Asy’ari karena menyimpang dari manhaj salaf. Dalam Dar’ Ta’arud al-Aql wa al-Naql (jilid 1, hlm. 89-90), ia menegaskan bahwa Asy’ariyah telah mengorbankan nash (teks suci) demi logika filosofis.

Ketiga, menyatakan bahwa Al-Asy’ari (sebelum wafat) telah kembali ke metode salaf, tetapi pengikutnya justru mempertahankan pendekatan kalam. (Al-Aqidah al-Wasitiyyah)

Kritik terhadap Tasawuf Al-Ghazali

Ibnu Taimiyah mengapresiasi upaya Al-Ghazali dalam memerangi filsafat Aristotelian, tetapi mengecam pandangannya tentang tasawuf. Dalam Majmu’ al-Fatawa (jilid 10, hlm. 551), ia menyebut sebagian ajaran Al-Ghazali sebagai “kesesatan yang dibungkus keindahan bahasa.”

Pertama, mengecam Wahdatul-Wujud dan menuduh Al-Ghazali (meski tidak secara eksplisit) membuka pintu bagi panteisme lewat karya Ihya’ Ulumud-Din, yang dianggapnya masih bercampur dengan ide filsafat dan mistisisme ekstrem.

Kedua, menolak ritual zikir berlebihan, tawassul melalui orang mati, dan konsep kasyf (penyingkapan spiritual) yang dianggapnya bertentangan dengan syariat.

Kritik terhadap Ibnu Taimiyah

Sejumlah ulama Sunni mengkritik Ibnu Taimiyah sebagai ekstrem dan kasar. Antara lain:

Pertama, Al-Subki (ulama Syafi’i-Asy’ari) dalam Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra menyebutnya “sesat dalam banyak masalah.”

Kedua, Al-Dzahabi (murid Ibnu Taimiyah) dalam Siyar A’lam al-Nubala’ mengakui kapasitas keilmuannya, tetapi menyesali kekerasan bahasanya.

Kekerasan sebagai Respons: Konteks Sejarah atau Watak Ideologis?

Ibnu Taimiyah hidup di era kacau: invasi Mongol, fragmentasi politik, dan praktik Sufi ekstrem. Frasa “Dia harus disuruh bertobat; jika tidak, bunuhlah!” yang diulang 400 kali dalam karyanya, mencerminkan sikap ofensifnya. Namun, frasa ini—yang awalnya ditujukan untuk konteks spesifik—dibajak kelompok modern seperti Jamaah Takfir wal Hijrah dan ISIS untuk melegitimasi kekerasan, bahkan dalam hal sepele seperti hukum makan ular.

Pendukungnya (Timowiyyun) berusaha membersihkan namanya dengan dalih “konteks sejarah”: kekerasan dalam fatwanya disebut sebagai respons darurat, bukan prinsip dasar. Tapi argumen ini mengabaikan fakta bahwa teksnya tetap hidup sebagai alat legitimasi teror.

Gelar “Syeikhul-Islam”

Gelar “Syeikhul-Islam” (Guru Besar Islam) dalam tradisi Islam klasik biasanya diberikan kepada ulama yang dianggap memiliki otoritas keilmuan luas, integritas, dan pengaruh besar dalam membela akidah Sunni. Gelar ini tidak resmi dan tidak terbatas pada satu mazhab atau aliran.

Gelar tersebut mulai populer di kalangan pengikutnya (terutama muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyah) dan mazhab Hanbali pasca-wafatnya. Penggunaan gelar ini semakin menguat dalam gerakan pemikiran Salafi/Wahabi abad ke-18–19, yang menjadikan pemikirannya sebagai rujukan utama. Kelompok lain, seperti Asy’ariyah atau Sufi, seringkali enggan mengakui gelar ini karena perbedaan teologis dengan Ibnu Taimiyah.

Gelar-gelar seperti Hujjatul Islam untuk Ghazali dan Syeikhul Islam untuk Ibnu Taimiyah memang tidak netral dan mengungkap apresiasi kelompok tertentu, bukan konsensus. Ia mencerminkan perebutan otoritas keagamaan.

Penyangkalan hingga Pembelaan

Di era pra-digital, pendukung Ibnu Taimiyah mudah menyangkal dengan menuduh pengkritik “memelintir teks.” Namun, di era akses informasi terbuka, taktik ini gagal. Kini, siapa pun bisa mengutip langsung halaman kitabnya—termasuk ratusan fatwa kekerasan—dalam hitungan detik.

Sebagian pendukungnya beralih ke pembelaan berbasis konteks: “Ibnu Taimiyah adalah korban zaman, bukan ideolog kekerasan.” Tapi tiga hal membongkar kepalsuan klaim ini:

Pertama, yang relevan adalah teks yang terus dipakai untuk membenarkan pembunuhan. Konteks sejarah tidak menghapus dampaknya di masa kini.

Kedua, banyak ulama sezamannya menghadapi konflik serupa, tapi tak satu pun karyanya menjadi senjata utama ekstremis modern.

Ketiga, andaikan 99% tulisannya tentang toleransi, 1% sisanya yang membenarkan pembunuhan telah menjadi alat legitimasi teror.

Ironi Otoritas Salaf: Dari Wahabisme hingga Al-Qaeda

Pengaruh Ibnu Taimiyah meluas bukan karena kedalaman pemikiran, melainkan karena kesederhanaan ideologinya yang mudah dicerap sebagai referensi revival. Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai mazhab formal negara Kerajaan Arab Saudi. Osama bin Laden menyebutnya inspirasi “perang suci.”

Fatwa-fatwanya dianggap mewakili “otoritas Salaf,” meski banyak ulama lain lebih ekstrem tetapi kurang populer. Klaim “pemurnian agama” yang ia usung justru menjadi alat pemurnian darah: pengkafiran massal, pembunuhan, dan teror.

Di era digital, teks-teksnya tetap menjadi bahan bakar gerakan yang mengorbankan nyawa—sebuah warisan yang tak pernah ia bayangkan, tapi tak bisa dipisahkan dari literalisme kaku yang ia pertahankan.

Kesimpulan: Literalisme sebagai Bencana Intelektual

Ibnu Taimiyah bukan filsuf yang merangkul kompleksitas, melainkan ahli teks yang menjadikan literalisme sebagai tameng. Kekuatannya—konsistensi metodologi—justru menjadi kelemahan saat teks-teksnya direduksi menjadi slogan kekerasan. Warisannya mengingatkan kita: literalisme bukan hanya mandul secara intelektual, tapi juga berbahaya secara sosial. Dalam dunia yang terus berubah, ketaatan buta pada teks masa lalu hanya melahirkan kekerasan—bukan pencerahan.

Klaim “konteks zaman” gagal mengubah fakta: teks-teks Ibnu Taimiyah tetap menjadi bahan bakar utama gerakan yang mengorbankan nyawa atas nama “pemurnian agama”. Di era di setiap kata bisa diakses dengan sekali klik, upaya meromantisasi kekerasan masa lalu hanya akan memperpanjang daftar korban. (*Cendekiawan Muslim)

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
Advertisements
POPULER BULAN INI
Advertisements
Advertisements
INDEKS BERITA