BERITAALTERNATIF.COM – Saudari syahid komandan Abu al-Fadl Ali Kurki menggambarkan saudaranya dengan penuh rasa hormat, “Haj Ali adalah contoh seorang mukmin mujahid; imannya begitu mendalam, pendiriannya teguh, dan ucapannya selalu jujur. Ia tidak pernah mengenal kesombongan, tidak pernah mencari perhiasan dunia, melainkan dihiasi oleh kerendahan hati dan kejernihan hati. Ia hidup hanya untuk Allah, untuk hamba-hamba-Nya, dan pergi menghadap Allah dengan meninggalkan jejak kebaikan serta kenangan yang harum.”
Hari ini kita hidup dalam suasana peringatan tahun pertama kesyahidan komandan besar jihad, Haj Abu al-Fadl Ali Kurki, yang pernah menjadi komandan front selatan dalam perlawanan Islam.
Komandan yang mengawasi operasi perlawanan di Lebanon Selatan ini selalu menegaskan bahwa setiap langkah dan setiap operasi di dalam hatinya sesungguhnya berbicara dengan Palestina yang terjajah. Ia juga senantiasa menanamkan kepada para pemuda bahwa Palestina pasti akan terbebaskan dengan tangan para pejuang yang beriman.
Kita mengenang jalan perjuangannya dan kepahlawanannya, bagaimana ia mampu menggabungkan kepemimpinan dengan tanggung jawab keluarga, dan bagaimana kita bisa belajar dari sekolah perintis ini—sekolah perlawanan dan jihad.
Kita pun belajar dari sekolah Asyura yang penuh dengan pelajaran moral dan spiritual, yang mengajarkan kepada kita jalan hidup yang benar. Pelajaran pertama dari Asyura adalah tentang pengorbanan, makna kemenangan dan kekalahan.
Kesyahidan komandan Abu al-Fadl, para pemimpin besar, serta syahid umat Sayyid Hassan Nasrallah, semuanya adalah kemenangan besar bagi kita. Dari mereka kita belajar makna perjuangan Asyura, dari sekolah para syuhada ini kita memahami jalan kebenaran.
Nama Abu al-Fadl benar-benar sesuai dengan maknanya. Ia adalah anak yang berbakti kepada orang tuanya, saudaranya, keluarganya, dan warga kampungnya. Sejak usia muda ia memilih jalan pengorbanan dan jihad. Ia berkelana, berkreasi, dan menciptakan cara-cara baru untuk melawan musuh Zionis. Ia adalah komandan yang benar-benar mencerminkan ayat suci Alquran, “Keras terhadap orang-orang kafir, tetapi penuh kasih sayang sesama mereka.”
Tentang hubungannya dengan keluarga dan dengan Haj Imad Mughniyah, saudari Haj Ali, Hajjah Suha Kurki, bercerita:
“Bismillahirrahmanirrahim. Salawat dan salam untuk makhluk terbaik, Rasul paling mulia, kekasih hati kami, Abul Qasim Muhammad (saw). Salam juga untuk Wali Amr kaum Muslimin, Sayyid Ali Khamenei, serta semua mukmin yang sabar di umat Muhammad (saw).
Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.
Kalian meminta kami berbicara tentang para lelaki yang telah pergi di jalan Allah. Sungguh sulit untuk berbicara tentang mereka dan memberi mereka hak yang layak. Allah-lah yang paling tahu apa yang telah mereka berikan, bagaimana pengorbanan mereka, dan betapa kuat iman mereka sehingga bisa memberikan begitu banyak dari hati mereka, dari pandangan jauh mereka, untuk menolak kezaliman dan tirani. Mereka memiliki kecintaan sejati untuk membela tanah air, sehingga tidak pernah pelit dalam memberi.
Haj Abu al-Fadl adalah komandan yang benar-benar memiliki sifat kepemimpinan. Seorang pemimpin tidak diciptakan begitu saja, melainkan lahir dengan potensi dan sifat bawaan. Sejak kecil ia sudah memiliki sifat kemanusiaan, spiritual, dan sosial, dengan pemahaman lingkungan yang baik. Semua itu membentuknya menjadi sosok pemimpin, tentu dengan pertolongan Allah Swt dan niat yang tulus.
Haj Ali Kurki memiliki sentuhan lembut yang bisa dirasakan setiap orang saat berbicara dengannya. Dari wajahnya terpancar kasih sayang dan cahaya. Ia adalah saudara yang rendah hati, penuh kasih, dan kehadirannya selalu membawa ketenangan di rumah. Saat ia datang, keluarga merasakan rasa aman dan kasih sayang.
Ketika masih belajar, ia sering bertanya pada saudara-saudaranya tentang kehidupan mereka. Ia belajar sambil bekerja, kemudian menjadi salah satu pendiri gerakan Islam yang mulai muncul di masyarakat. Ia mendirikan pasukan kepanduan Mush‘ab bin Umair dan menjadi pemimpinnya.
Ada banyak kegiatan kajian keislaman di berbagai daerah yang saat itu didukung oleh syahid Muhammad Baqir al-Sadr. Juga kegiatan dakwah dan pendidikan yang mendapat pengaruh besar dari almarhum Sayyid Muhammad Husain Fadlullah.
Di masa mudanya, lewat kegiatan itu ia berkenalan dengan Haj Imad Mughniyah dan Sayyid Mustafa Badruddin. Hubungan mereka semakin erat, apalagi saat bersama di Universitas Amerika. Setelah lulus, kedekatan mereka semakin intens, bahkan sampai pada tingkat persahabatan yang sangat dalam.
Haj Abu al-Fadl dan Haj Imad memahami satu sama lain hanya lewat tatapan, tanpa kata. Ada ikatan spiritual dan iman yang menyatukan mereka menuju tujuan suci yang sama. Kedekatan itu juga meluas ke keluarga mereka, hingga sering ada kunjungan timbal balik dengan keluarga Sayyid Badruddin. Imad Mughniyah menjadi sahabat terdekat Abu al-Fadl dan mereka bersama-sama melakukan banyak operasi perlawanan, baik di Lebanon maupun di luar negeri.
Haj Abu al-Fadl memiliki kasih sayang tanpa batas terhadap keluarga, saudara, keponakan, dan cucu-cucunya. Ia tidak pernah lalai, bahkan ketika jauh sekalipun ia selalu menghubungi lewat telepon atau mengutus orang untuk membantu kebutuhan keluarga.
Ia dekat dengan semua orang, mendengarkan mereka, memberi arahan, dan menjadi tempat berlindung bagi seluruh keluarga. Kehadirannya selalu membawa rasa aman, mempermudah urusan, dan memberi kebahagiaan.
Dia memiliki tutur kata lembut, humoris, dan selalu menyisipkan kisah Ahlulbait. Jika ia membantu seseorang, ia berusaha agar orang itu tidak merasa sedang diberi bantuan, melainkan merasa dimuliakan.
Ia selalu menganggap ridha kedua orang tua sebagai rahasia keberkahan hidup jihadnya. Setiap hari ia memulai dengan melayani mereka. Tak ada satu pun kesempatan atau kebutuhan orang tua yang ia lewatkan. Ia senantiasa berusaha menyenangkan hati mereka, meski dengan waktu singkat atau kata-kata penuh cinta.
Ia mampu menyeimbangkan waktu antara medan jihad dan keluarga. Jika sulit tinggal lama bersama mereka, ia menggantinya dengan momen penuh cinta. Bahkan ketika jauh di medan perang, ia tetap berkomunikasi agar orang tuanya merasa dekat. Ia sering berkata kepada para sahabatnya bahwa doa orang tua adalah senjata tak terkalahkan bagi seorang mujahid.
Kami kehilangan yang paling berharga dengan wafatnya Haj Abu al-Fadl. Ia selalu hadir untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tidak pernah lalai terhadap istri, anak, saudara, maupun warga desanya. Ia menyempatkan diri setiap pekan untuk berkumpul bersama keluarga. Jika lewat di kampungnya dan melihat seseorang berjalan, ia turun dari mobil, memberi salam, menanyakan kabar, bahkan mengantarnya.
Jika diajak bicara dalam topik apa pun—spiritual, iman, politik, sosial, atau militer—ia menjawab dengan fasih dan penuh pengetahuan. Allah Swt menganugerahkan kepadanya kemampuan yang luar biasa. Bahkan hubungan dengan para pemuda yang bekerja bersamanya pun begitu istimewa. Mereka menganggapnya seorang ayah sebelum seorang komandan.
Haj Ali adalah teladan mukmin pejuang; imannya mendalam, pendiriannya teguh, dan kata-katanya selalu benar. Ia tidak pernah sombong, tidak mencari hiasan dunia, melainkan dihiasi kerendahan hati dan kebeningan jiwa. Ia hidup untuk Allah, untuk hamba-hamba-Nya, dan meninggalkan dunia ini untuk Allah dengan mewariskan jejak kebaikan dan kenangan yang harum.
Di tengah masyarakat ia selalu dekat, duduk bersama mereka, membuat mereka merasa tenang, dan menanamkan harapan di hati mereka. Ia tidak pernah menjauh dari warga kampung dan orang-orang yang mencintainya. Ia adalah saudara, sahabat, sekaligus guru bagi mereka. Ia menjadi teladan dalam kesederhanaan seperti juga ia teladan dalam pengorbanan.
Bersama keluarga, ia adalah anak yang berbakti kepada orang tua, suami setia, sahabat bagi istrinya, dan ayah penuh kasih bagi anak-anaknya. Ia mengajarkan kepada mereka cinta Allah, cinta tanah air, dan cinta perlawanan. Di rumah ia adalah ayah dan pendidik, sementara di medan pertempuran ia adalah komandan pemberani dan kokoh. Ia berhasil memadukan kasih sayang di hati dengan keteguhan di sikap.
Haj Ali Kurki telah pergi sebagai syahid, tetapi ruhnya tetap hidup. Ia mengajarkan kesabaran, memberi teladan keteguhan, dan menginspirasi kita untuk terus melanjutkan jalan ini. Ia adalah sebuah sekolah iman dan jihad, dan cahayanya akan terus menjadi pelita bagi generasi yang akan datang. (*)
Sumber: Mehr News
Penerjemah: Ali Hadi Assegaf
Editor: Ufqil Mubin