Search

Snapback Eropa Berbalik Arah, Diplomasi Iran Tetap Jadi Kartu Terkuat

Taruhan Eropa pada mekanisme snapback Iran justru berbalik arah—membuka retakan dalam hukum internasional, memecah belah kekuatan dunia, dan pada akhirnya membuat diplomasi tetap menjadi kartu terkuat Teheran. (Mehr News)

BERITAALTERNATIF.COM – Dewan Keamanan PBB dalam sidang penting baru-baru ini melakukan pemungutan suara terhadap rancangan resolusi yang diajukan Rusia dan China, yang bertujuan menunda selama enam bulan pemberlakuan kembali sanksi PBB terhadap Iran.

Namun, resolusi tersebut gagal disahkan dengan hanya 4 suara mendukung, 9 suara menentang, dan 2 abstain. Hasil itu secara praktis mengakhiri proses pengaktifan apa yang disebut sebagai mekanisme “pemicu” atau trigger mechanism.

Langkah tiga negara Eropa dalam mengaktifkan snapback ini tidak memiliki dasar hukum maupun legitimasi politik. Seperti yang dikatakan para pejabat Iran, kesepakatan baru yang dicapai antara Teheran dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) di Kairo untuk bekerja sama dalam kondisi baru otomatis akan gugur jika mekanisme snapback dijalankan. Perlu diingat, Amerika Serikat sudah lebih dulu melanggar Resolusi 2231 pada 2018 ketika secara sepihak keluar dari JCPOA, dan Eropa juga ikut melanggar kewajibannya dengan tunduk pada sanksi ilegal Washington.

Jika melihat skenario pasca-snapback, meskipun sanksi PBB yang sudah berakhir diberlakukan kembali, Iran masih bisa melanjutkan kerja sama dengan mitra internasionalnya lewat diplomasi aktif. Iran juga dapat menetralkan dampak negatif sanksi dengan mengandalkan dukungan Rusia, China, dan negara sahabat lainnya.

Faktanya, langkah troika Eropa ini merupakan fenomena luar biasa dalam kacamata hukum internasional dan bahkan bertentangan dengan semangat Piagam PBB. Menurut Piagam PBB, kesepakatan di antara kekuatan besar harus dicapai lewat konsensus. Namun karena inisiatif snapback ini ditolak Rusia dan China, maka validitas resolusi tersebut menjadi sangat lemah, begitu juga dengan kewajiban negara lain untuk melaksanakannya.

Pada titik ini, pintu diplomasi sebenarnya masih terbuka bagi Iran. Teheran justru disarankan memperkuat hubungan aktif dengan mitra-mitranya seperti China, Rusia, India, negara-negara ASEAN, serta Afrika. Tujuannya agar komunitas internasional tidak sepenuhnya menyetujui pembatasan yang lahir dari kembalinya enam resolusi lama tersebut.

Perlu dicatat, kembalinya resolusi itu lebih banyak bersifat simbolis. Negara besar seperti Rusia dan China tidak akan secara nyata berdiri sejalan dengan Barat dalam menerapkan pembatasan ini, karena kepentingan nasional mereka selalu lebih utama.

China adalah mitra ekonomi terbesar Iran, sementara Rusia berada pada posisi hampir serupa. Bahkan beberapa negara, termasuk India, sudah menunjukkan minat untuk kembali mengimpor minyak dari Iran.

Iran sendiri memiliki kapasitas besar dalam perdagangan dan energi yang sulit diabaikan. Karena itu, kemungkinan besar Rusia, China, dan negara-negara lain yang sebelumnya bekerja sama dengan Iran akan tetap melanjutkan hubungan, bahkan bisa jadi dalam skala lebih besar.

Tentu, karena ada tekanan PBB, sebagian kerja sama itu mungkin tidak dipublikasikan secara luas. Inilah salah satu tugas diplomasi: mendefinisikan keuntungan nyata bagi mitra internasional agar mereka terdorong terus menjalin kerja sama dengan Iran. Maka, jika negara-negara lain merasa kepentingannya tidak terpenuhi dengan mengikuti resolusi terhadap Iran, mereka pun tidak akan patuh.

Dalam hal sanksi, harus diakui bahwa sanksi Amerika Serikat jauh lebih efektif dibandingkan sanksi PBB. Sementara itu, pembatasan nuklir yang termuat dalam enam resolusi lama PBB lebih banyak menyangkut urusan senjata dan aspek teknis nuklir.

Salah satu skenario yang mungkin terjadi adalah Iran menghentikan kerja samanya dengan IAEA. Dalam kesepahaman yang dicapai Teheran dengan lembaga pengawas itu di Kairo, jelas disebutkan bahwa jika mekanisme snapback dijalankan, maka kerja sama Iran dengan IAEA akan berakhir.

Konsekuensinya, dengan kembalinya sanksi, Teheran tidak akan lagi memberikan informasi terkait fasilitas nuklirnya dan juga menolak pengawasan terhadap situs-situs nuklir damai yang aktif. Dari perspektif Eropa, Amerika, dan rezim Zionis, kondisi ini akan dianggap sebagai sebuah kegagalan, karena mereka sangat membutuhkan informasi tentang program nuklir Iran—informasi yang biasanya dipakai sebagai bahan untuk langkah permusuhan terhadap Iran.

Kenyataannya, korban utama dari kembalinya sanksi justru Eropa dan Amerika Serikat sendiri. Perlu diingat, ketika JCPOA disahkan, Iran setuju membatasi pengayaan uranium hanya sampai 3,67 persen. Namun setelah Donald Trump menarik Amerika keluar dari JCPOA pada 2018, Iran kemudian meningkatkan pengayaannya hingga 20 persen. Dari sudut pandang lain, Eropa juga tidak menjalankan komitmennya. Alhasil, pengayaan uranium Iran meningkat hingga 60 persen.

Karena itu, ketika pihak lain mengambil sikap bermusuhan, Iran tetap melanjutkan pengembangan industri dan ilmu pengetahuannya tanpa memperdulikan tekanan. Mengelola sanksi memang sulit, tetapi bukan hal yang mustahil. Iran sudah pernah melaluinya, dan kali ini pun Iran akan mampu melewatinya. (*)

Sumber: Mehr News
Penerjemah: Ali Hadi Assegaf
Editor: Ufqil Mubin

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

BACA JUGA

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA