Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Keputusan Komite Olimpiade Internasional (IOC) untuk menjatuhkan sanksi dan ancaman pengucilan terhadap Indonesia, menyusul penolakan visa bagi atlet Israel, telah memicu gelombang kecaman global. Namun, jauh dari citra sebagai pelanggar prinsip perdamaian olahraga, posisi Indonesia justru menyingkap hipokrisi dan standar ganda yang mengakar dalam dalam tubuh IOC. Sikap Indonesia dalam kasus ini bukan sekadar sah secara konstitusional dan strategis, melainkan merupakan cerminan dari suara hati nurani global yang menolak politisasi olahraga yang timpang dan selektif.
Isu standar ganda IOC menjadi inti dari pembelaan terhadap Indonesia. Dunia menyaksikan dengan gamblang kontras yang mencolok dalam perlakuan IOC terhadap berbagai konflik geopolitik. Ketika Rusia menginvasi Ukraina, respons IOC terlihat cepat dan keras: hak sebagai tuan rumah dicabut, atlet dilarang bertanding di bawah bendera nasional, bahkan keanggotaan Komite Olimpiade Rusia ditangguhkan. Namun, sikap ini berbanding terbalik dengan perlakuan mereka terhadap Israel, yang hingga kini terus menghadapi tuduhan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan kemanusiaan di Gaza. Alih-alih memberikan sanksi serupa, IOC justru bersikap akomodatif dan memaksa negara tuan rumah untuk menerima partisipasi Israel tanpa reserve. Kritik dari Kremlin, melalui juru bicaranya Dmitry Peskov, semakin mengukuhkan tuduhan ini. IOC dinilai tidak konsisten karena tidak pernah memberikan sanksi kepada negara yang menolak atlet Rusia, namun dengan sigap menghukum Indonesia. Ketidakkonsistenan ini menggeser posisi IOC dari penjaga netralitas olahraga menjadi aktor geopolitik yang memihak.
Lebih dari sekadar persoalan standar ganda, keputusan Indonesia untuk menolak visa berakar pada prinsip konstitusional yang fundamental dan pertimbangan keamanan nasional yang konkret. Konstitusi Indonesia dengan tegas menentang segala bentuk penjajahan di muka bumi, sebuah warisan perjuangan kemerdekaan yang tidak dapat ditawar. Kebijakan luar negeri Indonesia pun konsisten mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina sejak era kemerdekaan hingga kini. Memberikan akses dan menggelar ajang olahraga bagi atlet dari negara yang tengah dituduh melakukan pendudukan dan pelanggaran HAM sistematis akan menjadi pengkhianatan terhadap prinsip dasar negara ini. Di luar itu, seperti diungkapkan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga, penolakan visa diperkuat oleh permintaan tidak lazim dari Israel untuk membawa tim keamanan militer ke Indonesia. Permintaan semacam ini bukan hanya melampaui norma diplomatik olahraga, tetapi juga berpotensi menjadi ancaman serius terhadap kedaulatan dan keamanan dalam negeri. Indonesia memiliki hak penuh untuk menolak masuknya unsur militer asing yang dapat mengganggu stabilitas nasional dan mengancam kedaulatan teritorial.
Dukungan global yang meluas untuk Indonesia membuktikan bahwa sikap bangsa ini bukanlah tindakan yang terisolasi, melainkan representasi dari suara kolektif yang menuntut keadilan. Tagar dukungan dan seruan solidaritas untuk Palestina yang membanjiri media sosial, serta kecaman terhadap IOC dari berbagai penjuru dunia, menunjukkan bahwa publik internasional mampu melihat dengan jernih ketidakadilan yang dipraktikkan oleh lembaga olahraga tertinggi dunia. Pernyataan Alon Mizrahi, aktivis Yahudi pro-Palestina, bahwa “sudah saatnya kita mendekolonisasi olahraga,” menyentuh inti persoalan yang sesungguhnya. Olahraga seharusnya menjadi alat pemersatu umat manusia, bukan instrumen untuk memaksakan legitimasi politik suatu negara yang kebijakannya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Dengan demikian, sanksi IOC terhadap Indonesia adalah sebuah kesalahan strategis dan moral yang fatal. Alih-alih menghukum Indonesia, dunia justru seharusnya menghargai konsistensi Indonesia dalam membela prinsip antikolonialisme dan menolak standar ganda internasional. Keputusan Indonesia adalah sikap berdaulat sebuah bangsa yang lebih memilih untuk berdiri di sisi yang benar menurut konstitusi dan hati nuraninya, daripada tunduk pada tekanan geopolitik yang tidak adil dan kontradiktif. Dalam gelombang solidaritas global ini, Indonesia tidak sendirian. Negara ini berada di barisan terdepan perjuangan untuk mendekolonisasi olahraga dan mengembalikan martabatnya yang sejati: sebagai arena persatuan manusia yang bebas dari kepentingan politik dan penindasan. (*Cendekiawan Muslim)











