BERITAALTERNATIF.COM – Sementara delegasi Iran di New York menghadapi pembatasan yang belum pernah terjadi sebelumnya, tokoh-tokoh yang dituduh melakukan kejahatan perang justru bisa bebas berkeliaran. Kontradiksi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai legitimasi Washington sebagai tuan rumah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Di sela-sela Sidang Majelis Umum ke-80 PBB di New York, misi diplomatik Iran harus menghadapi berbagai pembatasan abnormal yang diterapkan pemerintah AS. Para pengamat menilai langkah ini bukan hanya bertentangan dengan norma dan aturan internasional, tetapi juga menunjukkan sikap permusuhan sekaligus ekstremisme pembuat kebijakan AS.
Salah satu aturan paling aneh adalah syarat dari Departemen Luar Negeri AS yang mewajibkan diplomat Iran meminta izin terlebih dahulu bahkan untuk sekadar membeli kebutuhan sehari-hari. Kebijakan ini dianggap memalukan oleh banyak pihak, baik di Iran maupun di dunia internasional, dan dilihat sebagai bukti nyata perilaku paling tidak rasional Washington terhadap Teheran.
Ironisnya, pada saat yang sama tokoh-tokoh politik yang dituduh melakukan kejahatan perang—seperti Perdana Menteri rezim Israel, Benjamin Netanyahu, yang bahkan telah dikenai surat perintah penangkapan oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC)—tidak menghadapi hambatan apa pun dan bisa bergerak bebas di New York. Kontradiksi mencolok ini sekali lagi memperlihatkan standar ganda Amerika dalam menegakkan hukum internasional.
Berita tentang pembatasan tersebut cepat menyebar, memicu reaksi luas di media dan media sosial. Banyak yang menilai kebijakan ini mencerminkan kebingungan dan kelemahan diplomasi AS. Alih-alih menjadi hambatan nyata bagi diplomat Iran, kebijakan ini justru memperlihatkan Amerika sebagai aktor yang tidak dapat dipercaya di panggung dunia.
Salah satu aspek paling mencolok dari kontroversi ini adalah standar ganda AS dalam diplomasi. Di satu sisi, diplomat Iran harus meminta izin untuk membeli kebutuhan sederhana, sementara di sisi lain tokoh politik yang dituduh melakukan kejahatan internasional bebas berkeliaran di New York. Kontradiksi ini merusak legitimasi kebijakan luar negeri AS, baik dari sisi hukum maupun moral.
Contoh paling jelas adalah sikap Washington terhadap surat perintah penangkapan yang dikeluarkan ICC untuk perdana menteri Israel. Banyak negara menyatakan siap menegakkannya jika Netanyahu masuk ke wilayah mereka. Namun AS justru menegaskan tidak akan membatasi kedatangannya, bahkan membela kekebalan hukumnya. Ironisnya, pemerintah yang sama pada saat bersamaan memberlakukan pembatasan ketat terhadap diplomat Iran.
Perilaku selektif ini memperlihatkan bahwa kriteria AS dalam menerapkan aturan internasional tidak berakar pada prinsip hukum, melainkan pada kepentingan politik dan aliansi regional. Dengan kata lain, AS hanya menghormati aturan ketika aturan itu menguntungkannya, dan dengan mudah mengabaikannya bila sebaliknya. Inilah yang sering disebut banyak negara sebagai “standar ganda” dan “alat politisasi hukum internasional.”
Akibat langsung dari standar ganda ini adalah meningkatnya ketidakpercayaan global terhadap AS. Negara-negara lain, meskipun saat ini tidak menjadi sasaran kebijakan semacam itu, akan berpikir bahwa suatu hari mereka bisa diperlakukan sama. Seiring waktu, ketidakpercayaan ini akan mengikis kerja sama bilateral maupun multilateral dengan Washington. Dengan demikian, melalui perilaku seperti ini, AS bukan hanya menekan Iran, tetapi juga secara perlahan melemahkan kepercayaan dunia terhadap dirinya sendiri.
Langkah Washington lebih dari sekadar hambatan praktis bagi delegasi Iran. Hal ini merusak modal simbolik AS sebagai tuan rumah yang seharusnya netral. Negara yang menjadi lokasi markas besar PBB memiliki tanggung jawab di atas konflik bilateral. Pelanggaran tanggung jawab ini menegaskan kesan bahwa status tuan rumah dieksploitasi untuk kepentingan politik, dan hal itu merusak legitimasi moral AS dalam mengelola forum multilateral.
Kebijakan ini juga menaikkan biaya politik bagi kredibilitas internasional AS. Bahkan negara-negara yang tidak sejalan dengan Iran pun menaruh perhatian pada pentingnya netralitas tuan rumah. Jika ada anggota PBB diperlakukan dengan aturan abnormal, pesan yang tersampaikan adalah bahwa aturan tuan rumah bisa lentur sesuai kepentingan politik. Akibatnya, semakin banyak pihak yang meragukan keandalan AS dalam peran mediasi maupun tuan rumah di masa mendatang.
Kredibilitas PBB juga terkena dampaknya. Ketika negara tuan rumah berubah menjadi alat tekanan, lembaga internasional yang berkedudukan di dalamnya tak bisa lepas dari pertanyaan soal independensi dan akses yang setara.
Hal ini dapat memunculkan kembali wacana untuk memindahkan sebagian pertemuan PBB ke lokasi lain yang lebih netral. Jika itu terjadi, otomatis akan mengurangi pengaruh lunak (soft power) AS dalam diplomasi multilateral.
Tidak bisa diabaikan pula dampak domestik. Jurang antara slogan AS tentang supremasi hukum dengan praktik selektifnya di lapangan memberi amunisi baru bagi para pengkritik, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dengan melanjutkan jalur kebijakan seperti ini, bukannya melemahkan lawan, AS justru secara perlahan menggerogoti kekuatan lunaknya sendiri—kekuatan yang sangat penting justru di forum-forum seperti PBB.
Kebijakan AS terhadap delegasi Iran juga jelas merupakan pelanggaran terhadap kewajiban internasionalnya sebagai tuan rumah PBB. Berdasarkan Perjanjian Markas Besar (Headquarters Agreement) tahun 1947 antara AS dan PBB, Washington wajib menjamin akses bebas dan tanpa hambatan ke fasilitas serta aktivitas PBB bagi seluruh perwakilan negara anggota. Membatasi pembelian kebutuhan sehari-hari atau pergerakan diplomat secara terang-terangan bertentangan dengan komitmen tersebut.
Hukum internasional menegaskan prinsip netralitas bagi negara tuan rumah organisasi internasional. Tuan rumah wajib memberikan kondisi yang sama kepada semua negara, tanpa memandang konflik politik atau sengketa bilateral. Namun, langkah terbaru AS justru sebaliknya: menggunakan status tuan rumah sebagai alat tekanan politik. Ini berarti AS mempolitisasi posisi hukumnya dan menempatkan independensi PBB di bawah kepentingan sepihak.
Memang pernah ada kasus di masa lalu ketika AS menolak memberikan visa atau memberlakukan pembatasan perjalanan bagi delegasi negara tertentu. Tetapi pembatasan yang diterapkan kali ini terhadap Iran—bahkan sampai urusan kebutuhan sehari-hari—adalah level yang benar-benar belum pernah ada sebelumnya. Kebijakan ini tidak terkait aspek keamanan maupun hukum, melainkan murni keputusan politik yang bertentangan dengan semangat kerja sama internasional. Itulah mengapa banyak pakar menyebut langkah ini sebagai “belum pernah terjadi” sekaligus “memalukan.”
Lebih dari itu, tindakan semacam ini mempunyai implikasi jauh lebih luas daripada sekadar hubungan AS-Iran. Jika negara sebesar AS bisa dengan seenaknya memberlakukan pembatasan politis terhadap delegasi anggota PBB, maka bukan tidak mungkin negara lain akan menirunya. Dampaknya, sistem diplomasi multilateral bisa melemah dan salah satu arena dialog internasional paling penting kehilangan legitimasi.
Perlakuan AS terhadap delegasi Iran di New York bukan sekadar insiden, melainkan cerminan jelas bahwa Washington lebih mengutamakan kepentingan politik daripada aturan internasional. Memberlakukan syarat izin untuk sekadar membeli kebutuhan sehari-hari diplomat adalah bentuk nyata pelanggaran kewajiban AS sebagai tuan rumah PBB. Dan alih-alih benar-benar menghalangi Iran, langkah ini justru memperlihatkan citra AS sebagai negara yang bermusuhan sekaligus tidak dapat dipercaya di mata dunia.
Kontradiksi itu semakin mencolok jika dibandingkan dengan perlakuan AS terhadap perdana menteri Israel yang dikenai surat perintah ICC, namun tetap bebas masuk ke New York. Standar ganda seperti ini mencoreng legitimasi moral Washington sekaligus mengikis kepercayaan global terhadapnya.
Jika kebijakan semacam ini terus berlanjut, bukan mustahil akan muncul dorongan lebih kuat untuk memindahkan sebagian aktivitas PBB ke tempat yang lebih netral. Pada akhirnya, hal ini justru bisa membawa AS pada isolasi diplomatik dan mengurangi pengaruhnya dalam tatanan internasional. (*)
Sumber: Mehr News
Penerjemah: Ali Hadi Assegaf
Editor: Ufqil Mubin