BERITAALTERNATIF.COM – Menurut laporan Tasnim, rezim Zionis bersama Amerika Serikat (AS) dan sejumlah pihak internasional, dengan memanfaatkan kelemahan serta ketundukan pemerintahan Joulani, terus melanjutkan pendudukan dan agresinya di Suriah. Dalam konteks ini, banyak skenario dan analisis yang muncul mengenai proyek pemecahan Suriah.
Ghazi Dahman, seorang penulis dan analis Suriah, dalam artikelnya meneliti rencana Israel untuk membagi Suriah dari berbagai sisi.
Israel dalam kerangka rencana terbukanya ingin membagi Suriah menjadi negara-negara kecil. Untuk itu, mereka berusaha mengguncang situasi di selatan Suriah dan menyalakan konflik sektarian, agar bisa melewati konsensus regional maupun internasional terkait stabilitas dan keutuhan Suriah.
Bagi Israel, gagasan membagi Suriah bukanlah hal baru. Selama puluhan tahun, karena struktur sosial Suriah yang terdiri dari banyak etnis dan sekte, ditambah posisinya yang strategis di jantung dunia Arab, Suriah selalu menjadi target strategis penting. Negara ini mengontrol jalur transportasi vital, koridor perdagangan, serta aliansi regional yang berpengaruh dalam membentuk wajah Timur Tengah.
Strategi ini sebenarnya sudah ada sejak 1950-an, namun kemudian diwujudkan secara jelas dalam “Rencana Yinon” yang ditulis Oded Yinon pada 1982. Dalam dokumen tersebut, Israel mengusulkan pembagian Suriah ke dalam wilayah-wilayah kecil berbasis etnis dan agama, yang nantinya dijadikan negara-negara kecil di bawah pengaruh langsung Tel Aviv.
Israel kini mengubah taktiknya. Salah satu proyek yang sedang digarap disebut Tembok Druze, yang menjadi pintu awal untuk memecah Suriah.
Sebelumnya, strategi Israel dikenal dengan Koridor Daud yang menghubungkan selatan Suriah ke arah timur dengan dalih melindungi kaum Druze dan Kurdi. Namun, setelah infrastruktur militer Suriah dihancurkan oleh serangan Israel dan konflik internal kian parah, Tel Aviv melihat peluang baru.
Ide Tembok Druze berpusat pada pembentukan kelompok-kelompok bersenjata dari desa-desa Druze di pegunungan Hermon, dipersenjatai dengan senjata modern, dipimpin oleh orang-orang Druze yang menjadi bagian dari militer Israel, dan dikendalikan dari ruang operasi di wilayah pendudukan.
Nantinya, kelompok ini akan diperluas dengan rekrutmen dari Suwayda serta dataran tinggi Golan, lalu secara bertahap dimasukkan ke dalam unit-unit militer Israel yang menjaga garis perbatasan di selatan Suriah.
Lebih jauh, rencana ini juga mencakup pengusiran warga Suriah dari daerah perbatasan dengan Palestina yang diduduki. Proses pengosongan wilayah ini sudah dimulai secara terbatas, dan diperkirakan akan semakin intensif jika konflik sektarian dipicu. Kasus pengungsian massal baru-baru ini di Suwayda menjadi contoh nyata.
Untuk mempercepat proyek ini, Israel mendorong gagasan otonomi di berbagai wilayah Suriah, menciptakan jebakan politik bagi pemerintah baru yang kesulitan mengelola krisis, serta menggunakan kampanye media untuk melemahkan pihak yang mendukung persatuan nasional.
Di saat yang sama, Israel mencoba mendekati kaum Druze Suriah dengan menawarkan lapangan kerja di proyek pertanian di Golan, memberi bantuan pangan dan medis, bahkan membuka opsi pemberian kewarganegaraan Israel. Semua ini dilakukan untuk menciptakan ikatan emosional dan meminggirkan kelompok nasionalis Suriah.
Selain itu, Israel menekan warga perbatasan di Quneitra dan Daraa dengan melarang bercocok tanam dan menggembala, disertai penggerebekan, penangkapan, bahkan pembunuhan, sehingga mereka dipaksa meninggalkan tanahnya. Tujuannya adalah mengosongkan wilayah itu secara perlahan agar bisa dikuasai.
Dengan proyek Tembok Druze, Koridor Daud, serta persiapan pembentukan negara-negara kecil separatis, Israel jelas tengah menghidupkan kembali strategi lama Mossad untuk memecah Suriah.
Karena itu, penting bagi seluruh rakyat Suriah—tanpa memandang sekte maupun etnis—bersatu melawan skema berbahaya ini, sebelum proyek Israel benar-benar dijalankan dari dalam wilayah Suriah. (*)
Sumber: Tasnim News
Penerjemah: Ali Hadi Assegaf
Editor: Ufqil Mubin