BERITAALTERNATIF.COM – Forum Sinologi Indonesia (FSI) bekerja sama dengan Paramadina Asia and Pacific Institute (PAPI) Universitas Paramadina dan Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI) melaksanakan seminar publik dengan tema Strategi Tiongkok Mencari Pasar: Tantangan dan Peluang Bagi Indonesia, yang diadakan secara hybrid di Kampus Kuningan, Trinity Tower lantai 45.
Seminar yang dilaksanakan pada Jumat, 31 Oktober 2025, ini menghadirkan sejumlah pakar lintas bidang, akademisi, ekonom, pelaku industri, hingga perwakilan komunitas Tionghoa Indonesia untuk mengulas bagaimana strategi ekspansi ekonomi Tiongkok ke Indonesia.
Dalam konteks global yang ditandai oleh kompetisi ekonomi, perubahan geopolitik, dan transformasi industri yang pesat, Tiongkok telah muncul sebagai kekuatan utama dengan strategi pasar yang semakin agresif dan sistematis.
Komoditas asal Tiongkok datang melalui berbagai jalur baik legal maupun tidak sah secara hukum di saat pelaku industri Indonesia tengah berjuang untuk bertahan. Hal ini berpotensi menghadirkan tantangan bagi industri kita di tengah peluang yang muncul dari hubungan antara kedua negara.
Sebagai upaya untuk memahami fenomena tersebut, seminar ini menghadirkan tiga pembicara, yaitu Ketua Tim Program Direktorat ASDIPI, Ditjen KPAII, Kemenperin, La Ode Ikrar Hastomi; Wakil Ketua Komite Tetap Konektivitas Sosial Budaya Bidang Infrastruktur KADIN, Yen Yen Kuswati, dan Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha FEB UI, Mohamad Dian Revindo. Kegiatan ini dimoderatori oleh Sekretaris FSI, Muhammad Farid, yang merupakan akademisi dari President University.
Dalam sesi sambutan pembuka, Direktur PAPI dan Dosen Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Dr. Peni Hanggarini, mengajak peserta seminar mengingat kembali sosok Laksamana Zheng He dari Dinasti Ming dalam sejarah hubungan antara Tiongkok dan Nusantara yang terjalin pada sekitar abad-15.
Melalui misi pelayarannya ke berbagai wilayah Asia termasuk Indonesia, Tiongkok melangsungkan diplomasinya tidak dengan kekuatan militer.
Hubungan ini terjalin melalui pelayaran dan pertukaran barang seperti sutra, keramik, rempah-rempah serta budaya.
“Kini telah berkembang menjadi kerja sama di bidang perdagangan, investasi, dan teknologi. Bagaimana Indonesia menghadapi ini sebagai tantangan sekaligus peluang merupakan hal yang penting untuk dikaji,” ujar Peni.
Sementara itu, perwakilan IPTI, Stephen Hwang, menegaskan komitmen etnis Tionghoa terhadap kepentingan nasional Indonesia.
Ia menekankan bahwa loyalitas terhadap Indonesia tidak bisa diukur dari etnisitas, melainkan dari kontribusi dan komitmen terhadap bangsa.
Stephen menjelaskan bahwa komunitas Tionghoa di Indonesia memiliki posisi unik sebagai jembatan antara dua budaya besar Asia. Melalui peran aktif di bidang perdagangan, pendidikan, dan filantropi, mereka turut memperkuat hubungan sosial dan ekonomi Indonesia–Tiongkok.
“Namun hubungan ekonomi harus bersifat mutual—saling menguntungkan. Indonesia memiliki potensi besar sebagai pasar, sumber daya, dan mitra strategis. Kita harus memastikan bahwa kerja sama ini tidak menimbulkan ketimpangan struktural,” tambahnya.
Dalam sesi pemaparan, Laode Ikrar Hastomi menyoroti kontribusi besar sektor manufaktur dalam memperkuat perekonomian nasional.
Dia menekankan pentingnya investasi pada oil and gas processing, ekspor, serta penguatan industrial workforce.
Ia menyebut trade balance industri manufaktur Indonesia kini mencatatkan surplus, dan kawasan industri seperti Morowali di Sulawesi Tengah berperan besar dalam transformasi menuju industri 4.0.
“Kawasan ini menjadi episentrum investasi berbasis nikel yang berorientasi ekspor, sekaligus memperlihatkan bagaimana kerja sama investasi dengan Tiongkok dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah,” jelasnya.
Namun demikian, ia juga memaparkan adanya kerugian dalam neraca perdagangan antara Indonesia dengan Tiongkok. Pada 2024, ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai 62,44 miliar dolar Amerika Serikat (USD), sedangkan impor dari Tiongkok ke Indonesia mencapai 72,73 miliar USD.
Hal ini memperlihatkan adanya kesenjangan neraca ekspor-impor Indonesia Tiongkok sebesar 10 miliar USD pada tahun lalu.
Laode juga mengingatkan bahwa keberhasilan investasi semacam itu harus dibarengi dengan transfer teknologi dan peningkatan kompetensi tenaga kerja lokal.
“Kita tidak bisa selamanya bergantung pada investasi luar. Indonesia harus naik kelas melalui industrial upgrading dan penerapan industri 4.0,” jelasnya.
Transformasi industri menuju era digital, menurutnya, menuntut kebijakan yang cermat. Pemerintah perlu menentukan sektor prioritas—seperti alat kesehatan, energi terbarukan, dan komponen elektronik—yang memiliki potensi ekspor tinggi sekaligus mendukung kemandirian nasional.
Sedangkan Yen Yen Kuswati menyampaikan bahwa kerja sama dengan Tiongkok membawa dampak positif bagi Indonesia, terutama dalam peningkatan akses investasi, infrastruktur, ekspor, dan transfer teknologi.
Menurutnya, Tiongkok tidak hanya mengandalkan kekuatan ekonomi dan investasi, tetapi juga menggunakan pendekatan budaya untuk memperkuat hubungan antarnegara.
“Tiongkok menerapkan soft diplomacy berbasis budaya—melalui festival, kuliner, pendidikan bahasa Mandarin, hingga pertukaran pelajar. Pendekatan ini memperluas jejaring sosial ekonomi dan membangun kepercayaan yang menjadi dasar kerja sama jangka panjang,” ujarnya.
Namun, ia juga menyampaikan sisi negatif yang tak kalah penting untuk diperhatikan. Persaingan harga barang asal Tiongkok menekan pelaku usaha lokal, berpotensi menyebabkan ketergantungan pada impor dan defisit neraca perdagangan, pergeseran nilai budaya dan pola konsumsi masyarakat, serta pertumbuhan ekonomi yang tidak merata.
Meski demikian, Yen Yen menilai bahwa Indonesia dapat memetik banyak manfaat dari hubungan dengan Tiongkok, di antaranya peningkatan akses investasi, penguatan infrastruktur, peningkatan ekspor bahan mentah dan hasil industri, serta transfer teknologi dan keahlian.
Lebih jauh, ia menyoroti kekuatan demografi Indonesia sebagai modal penting dalam menghadapi tantangan global. Faktanya, 68% dari 280 juta jiwa penduduk Indonesia berada pada usia produktif, dengan rata-rata usia 29 tahun.
“Ini merupakan tenaga kerja muda, adaptif, dan berdaya saing tinggi. Indonesia memiliki pasar domestik besar yang menjadi modal kuat untuk kemitraan strategis,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa kerja sama ekonomi dengan Tiongkok tidak seharusnya dipandang sebagai ancaman. Strateginya bukan resistensi, melainkan kolaborasi. Tiongkok bisa menjadi mitra untuk mempercepat transformasi ekonomi Indonesia, asal kerja samanya dijalankan secara seimbang.
Sementara itu, Mohamad Dian Revindo, menilai keberhasilan Tiongkok didorong oleh strategi ekonomi yang sangat disiplin dan manajemen ekonomi yang terintegrasi.
Tiongkok, kata dia, adalah negara yang terlalu besar untuk diabaikan. Mereka memiliki sistem manajemen ekonomi yang efisien, di mana setiap kebijakan perdagangan, mata uang, dan investasi diarahkan pada peningkatan daya saing global.
Namun, Dr. Revindo menyoroti sebuah strategi Tiongkok dalam menjaga daya saing barang-barangnya, yaitu dengan menjaga nilai tukar mata uangnya yang relatif lemah agar produk ekspor tetap kompetitif.
Jika mata uang Tiongkok melemah, kata dia, justru mereka senang, karena produknya menjadi lebih murah di pasar internasional. Mereka bahkan membeli saham dan barang dari Amerika Serikat untuk menjaga keseimbangan ini.
“Sementara kita masih menghadapi masalah klasik: kebijakan sektor hulu dan hilir sering kali tidak sinkron. Indonesia masih menghadapi tantangan dalam menyinergikan sektor hulu dan hilir industrinya,” paparnya.
Namun demikian, Revindo juga menjelaskan bahwa Tiongkok melakukan praktek yang meskipun legal namun kurang adil bagi Indonesia, yaitu praktik dumping.
Tiongkok menerapkan praktik dumping dengan menetapkan harga rendah pada produk garmen, frit, lisin, dan kaca, sehingga produk impor menjadi lebih diminati oleh konsumen Indonesia.
Ekonom yang mengajar di Sekolah Pascasarjana Pembangunan Berkelanjutan UI itu juga menjelaskan tantangan yang dihadapi Indonesia akibat banjir barang dari Tiongkok, yaitu tekanan pada industri lokal dan disrupsi tenaga kerja (PHK), ketergantungan impor, dan dominasi perdagangan elektronik (e-commerce) asing di Indonesia.
Ia juga menyoroti peningkatan impor ilegal asal Tiongkok yang berpotensi mengganggu perekonomian Indonesia.
Menurut dia, agar Indonesia dapat bersaing, diperlukan konsistensi dalam kebijakan industri dan investasi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta penguatan riset dan inovasi domestik.
“Indonesia harus belajar dari disiplin strategis Tiongkok, tanpa kehilangan jati diri dan arah kebijakan nasionalnya,” saran Revindo.
Pada sesi penutup, Ketua FSI dan Dosen Magister Ilmu Komunikasi UPH, Johanes Herlijanto, menyatakan ketiga pemateri telah menjawab pertanyaan mendasar dari strategi yang digunakan Tiongkok untuk mencari pasar: apa faktor yang mendukung keberhasilannya, melalui jalur apa produk ekspor Tiongkok masuk, bagaimana dampak yang muncul, serta tanggapan strategis yang perlu dilakukan pengusaha dan pemerintah Indonesia dalam menanggapi fenomena ini.
Secara khusus Johanes menyoroti strategi pelemahan Yuan yang mengakibatkan barang-barang Tiongkok lebih kompetitif, serta strategi dumping yang telah dijelaskan Revindo.
Dia juga menyoroti dampak yang tak boleh diabaikan dari fenomena banjir barang asal Tiongkok ke Indonesia, yaitu ketergantungan pada produk Tiongkok yang dapat berdampak pada kemandirian bangsa Indonesia.
Bagi Johanes, ini memperlihatkan bahwa hubungan antara Indonesia dan Tiongkok masih menghadapi beberapa tantangan di tengah peluang yang ada.
Seminar publik ini merupakan kegiatan kolaborasi pertama bagi PAPI dengan FSI dan PTI. Kegiatan ini sejalan dengan tujuan pendirian PAPI yaitu Membangun Dialog dan Pengetahuan untuk Diplomasi di Asia dan Pasifik (Fostering Dialogue and Knowledge for Diplomacy in Asia and the Pacific).
“Kegiatan PAPI dalam mengembangkan pemahaman mendalam tentang dinamika Asia dan Pasifik dilangsungkan melalui kegiatan diskusi, publikasi, penelitian, sosialiasi budaya, kunjungan akademis, pengabdian masyarakat, dan literasi,” ujar Peni. (*)
Editor: Ufqil Mubin











