BERITAALTERNATIF – Pemilu sela parlemen Argentina pada 26 Oktober 2025 menjadi salah satu ujian politik paling penting sejak Javier Milei menjabat presiden. Pemilu ini bukan sekadar soal masa depan ekonomi negara dengan inflasi di atas 150 persen dan tingkat kemiskinan yang melampaui separuh populasi, tetapi juga menjadi semacam referendum atas kinerja pemerintah Milei dan kebijakan kontroversialnya dalam dua tahun pertama kekuasaan. Dalam pemilu itu, koalisi Milei bernama Libertad Avanza (“Kebebasan Maju”) berhasil memperkuat posisinya di parlemen, meski belum mencapai mayoritas penuh.
Lebih jauh dari sekadar batas negara Argentina, pemilu ini juga menjadi ujian bagi kebijakan baru Washington di Amerika Selatan. Pemerintahan Trump sejak berbulan-bulan sebelumnya telah menyiapkan berbagai paket bantuan keuangan dan dukungan politik untuk menstabilkan ekonomi Argentina—sebuah langkah yang banyak dipandang sebagai upaya memperkuat sekutu politik di belahan selatan serta membendung pengaruh Tiongkok di kawasan itu. Keterkaitan antara bantuan Amerika dan kemenangan politik Milei pun memunculkan pertanyaan besar: sejauh mana keputusan politik di Buenos Aires masih independen? Apakah rakyat memilih Milei karena berharap pada stabilitas ekonomi, atau karena kelelahan panjang terhadap sistem lama berhaluan Peronisme?
Dari Kejenuhan ke Harapan Perubahan: Akar Suara untuk Milei di Tengah Krisis
- Kelelahan publik terhadap Peronisme dan sistem ekonomi lama
Selama bertahun-tahun, ekonomi Argentina bergulat dengan kebijakan Peronisme yang dianggap menyebabkan pembengkakan anggaran negara, utang tinggi, dan inflasi kronis. Saat masyarakat merasa tak ada lagi harapan dari partai-partai lama, Milei muncul sebagai sosok “orang luar” yang berjanji untuk mengguncang sistem dan menciptakan perubahan radikal. Meski ekonominya sedang terpuruk, banyak pemilih memilih Milei karena kata “perubahan” terasa lebih menjanjikan dibanding melanjutkan keadaan lama yang stagnan.
- Janji melawan inflasi dan mengecilkan peran negara
Inflasi yang menembus rekor menjadi masalah utama pemilih. Dalam kampanyenya, Milei menegaskan bahwa “tidak ada alternatif selain guncangan besar” dan berjanji untuk memangkas peran negara, menghapus subsidi, serta mengurangi birokrasi. Janji-janji itu menarik bagi warga yang merasa daya belinya terus menurun. Apalagi muncul tanda-tanda kecil perbaikan ekonomi yang memberi kesan bahwa kebijakannya mungkin benar-benar bisa membawa hasil.
- Gelombang pemilih muda dan kelas menengah yang kecewa
Analisis menunjukkan bahwa kaum muda dan kelas menengah perkotaan adalah basis utama dukungan bagi Milei. Sekitar 70 persen pemilih muda condong kepadanya. Mereka sudah kehilangan kepercayaan pada politisi lama dan mencari sosok yang “berbeda.” Milei menawarkan narasi yang sesuai dengan keinginan mereka: memangkas mesin besar pemerintahan dan mengubah struktur ekonomi dari akarnya.
- Dukungan luar negeri sebagai faktor pendorong suara
Selain faktor domestik, dukungan terbuka dari Donald Trump dan Washington juga berpengaruh besar. Paket bantuan ekonomi, termasuk kesepakatan swap mata uang senilai 20 miliar dolar, dipandang oleh pemilih sebagai sinyal bahwa Milei adalah figur yang bisa membawa Argentina kembali dipercaya dunia. Walaupun banyak analis menganggap langkah AS ini sebagai intervensi politik, bagi sebagian warga hal itu justru menimbulkan harapan bahwa “perubahan nyata bisa terjadi.”
Paket 40 Miliar Dolar Trump: Bantuan Ekonomi atau Rekayasa Politik?
Peran Donald Trump dalam kemenangan Milei tak bisa dianggap sekadar dukungan simbolis. Banyak bukti menunjukkan bahwa Washington secara aktif menggunakan kekuatan finansial, politik, dan media untuk memastikan sekutunya tetap berkuasa di Buenos Aires. Pemilu sela tahun 2025 pun berubah menjadi ajang uji coba bagi kebangkitan pengaruh AS di Amerika Selatan.
- Dolar sebagai alat campur tangan politik
Berbulan-bulan sebelum pemilu, pemerintah Trump membuka jalur swap senilai 20 miliar dolar dan bekerja sama dengan bank-bank besar AS untuk memasukkan likuiditas ke pasar peso Argentina. Dengan menjual dolar dan memberikan kredit darurat, Washington membantu menstabilkan nilai peso menjelang pemilu. Milei memanfaatkan situasi ini untuk menunjukkan bahwa kebijakannya berhasil mengembalikan “kepercayaan global.” Faktanya, dukungan finansial ini membentuk persepsi publik bahwa kestabilan hanya akan terjadi jika hubungan dengan AS tetap terjaga.
- Syarat politik untuk terus mendapat dukungan AS
Trump secara terbuka mengatakan bahwa bantuan ekonomi hanya akan berlanjut jika Milei menang. “Kalau dia menang, kami bertahan. Kalau tidak, kami pergi,” ujarnya. Ucapan ini menempatkan pemilih dalam situasi dilematis: memilih Milei berarti memilih stabilitas finansial, sedangkan memilih oposisi bisa diartikan menolak bantuan Amerika dan menghadapi ketidakpastian ekonomi. Media Argentina menyebut pernyataan itu sebagai bentuk “pemerasan politik” dari Washington.
- Upaya membangun kembali legitimasi internasional Milei
Saat kebijakan penghematan Milei menimbulkan keresahan sosial dan tingkat kemiskinan naik hingga lebih dari 50 persen, Trump mencoba memperkuat citra sekutunya itu di mata dunia. Ia menerima Milei di Gedung Putih dan menyebutnya “simbol reformasi di Amerika Selatan.” Gambar tersebut memberi kesan bahwa Argentina kembali mendapat tempat di panggung global. Bagi kelas menengah yang cemas terhadap nilai mata uang, dukungan AS dianggap jaminan stabilitas.
- Rivalitas geopolitik AS–Tiongkok di balik kebijakan finansial
Washington membenarkan intervensinya dengan alasan menandingi pengaruh ekonomi Tiongkok di Amerika Selatan. Di saat Beijing memperluas investasi lewat kredit 9,2 miliar dolar kepada negara-negara kawasan itu, AS ingin memastikan Argentina tidak berpaling ke Tiongkok. Karena itu, dukungan Trump terhadap Milei juga merupakan bagian dari strategi besar menahan pengaruh Beijing di wilayah tersebut.
- Pilihan konservatif karena ancaman dan janji dari luar
Tingkat partisipasi pemilu sekitar 68 persen menunjukkan banyak warga datang ke TPS bukan karena semangat politik, tapi karena kekhawatiran. Setelah Trump mengaitkan bantuan ekonomi dengan kemenangan Milei, pemilu seolah berubah menjadi referendum mengenai hubungan Argentina–AS. Bagi kelas menengah perkotaan, memilih Milei berarti menjamin aliran dolar dan kestabilan nilai tukar. Akibatnya, bahkan mereka yang tidak puas dengan kebijakan Milei pun akhirnya memilih partainya demi rasa aman ekonomi.
Dari Lula ke Milei: Dua Arah Politik, Dua Kondisi Sosial
Berbeda dengan Argentina, kemenangan Lula di Brasil lahir dari situasi yang lebih stabil. Di sana, pemilih masih memiliki ingatan positif terhadap masa lalu ketika program sosial Lula menurunkan kemiskinan dan meningkatkan lapangan kerja. Maka, pilihan ke kiri di Brasil lebih didorong oleh nostalgia terhadap kesejahteraan yang pernah dirasakan. Sementara di Argentina, tidak ada kenangan manis semacam itu: Peronisme justru identik dengan utang, inflasi, dan korupsi.
Milei muncul dari kemarahan rakyat yang lelah. Dengan gaya ekstremnya—dari ancaman “membakar bank sentral” hingga menyerukan penghapusan campur tangan negara—ia memanfaatkan frustrasi publik untuk membangun dukungan. Bagi warga yang tak mampu membayar sewa rumah atau membeli makanan, bahkan janji radikal sekalipun terdengar seperti harapan.
Sebaliknya, Lula di Brasil menang dengan pesan tentang harapan dan solidaritas, bukan penghancuran sistem. Ia menjanjikan kebangkitan kembali negara kesejahteraan, bukan revolusi ekonomi ekstrem.
Faktor eksternal juga membedakan keduanya. Lula memenangkan hati rakyat dengan menekankan kemandirian dari Washington, sedangkan Milei justru mengandalkan bantuan AS. Di Brasil, pemilih memilih kedaulatan; di Argentina, mereka memilih stabilitas finansial. Karena itu, bahkan mereka yang menentang Milei tetap memilihnya—bukan karena setuju, tapi karena takut kehilangan dukungan luar negeri.
Pada akhirnya, perbedaan pilihan politik dua negara itu berakar pada perbedaan kondisi psikologis dan ekonomi. Rakyat Brasil memilih kiri karena ingatan akan kesejahteraan masa lalu, sedangkan rakyat Argentina memilih kanan karena ketakutan akan kemerosotan yang lebih dalam. (*)
Sumber: Mehr News
Penerjemah dan Editor: Ali Hadi Assegaf











