BERITAALTERNATIF.COM – Donald Trump bukan sekadar presiden, dia adalah pertunjukan. Seorang tokoh flamboyan yang memerankan dirinya sendiri dalam panggung politik global dengan pencahayaan berlebih, dialog bombastis, dan skrip yang dia tulis sendiri. Mulai dari menjual parfum dengan namanya, bercita-cita meraih Hadiah Nobel Perdamaian, hingga secara terbuka mengusulkan wajahnya diukir di Gunung Rushmore. Tentu ini semua bukan lelucon, tapi bagian dari sebuah teater narsisme politik yang nyaris tak tertandingi.
Bagi Trump, menjadi presiden bukan soal tanggung jawab, tapi soal branding. Bendera Amerika dijadikan latar. Gedung Putih? Kantor promosi pribadi. Dunia? Pasar tempat dirinya untuk menjual produk agung yang harus dia sembah dan dia kagumi.
Dalam hubungan internasional, Trump tak mencari konsensus, tapi standing ovation. Dia tidak membangun aliansi, melainkan pengikut. Bagi Trump, pujian adalah mata uang diplomasi. Kepala Negara yang menyapanya dengan kekaguman akan mendapat pelukan dan tarif yang lebih ringan. Sebaliknya, kritik sekecil apa pun bisa memicu badai sarkasme publik, ancaman ekonomi, atau paling tidak, cuitan pedas di tengah malam.
Saat Elon Musk mengkritik pemerintah pasca-pemerintahannya, Trump menanggapinya dengan menyebutkan akan mengirim “DOGE”, bukan sebagai lelucon kripto, tapi versi karikatural dari “Departemen Produktivitas Pemerintah” yang tidak ada di dunia nyata. Itu bukan kebijakan, itu jelas lawakan kabaret di panggung kekuasaan. Namun seperti biasa, penontonnya bersorak.
Para pemimpin dunia telah belajar satu pelajaran tentang sederhana dan kesederhanaan. Sanjunglah Trump, maka Anda akan aman. Bahkan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, yang sebelumnya dikuliti habis secara terbuka hanya karena tidak memakai jas, akhirnya tampil rapi di KTT NATO. Sebuah kompromi visual demi menjinakkan ego seorang tokoh yang tidak pernah menyembunyikan cinta dirinya.
Namun tidak semua memilih jalan tunduk. Iran menjadi salah satu dari sedikit negara yang justru mengambil langkah sebaliknya, Iran melawan dengan terang-terangan. Saat Trump mengancam, Iran membalas. Ketika Gedung Putih bicara soal penggulingan, rudal-rudal Iran menghantam pangkalan Ain al-Assad dan Al-Udeid. Dunia menyaksikan bagaimana satu negara menolak menyembah Firaun, bahkan ketika Firaun itu memegang kekuasaan global.
Respons Trump? Mundur. Dari gertakan menjadi ajakan gencatan senjata, dalam hitungan hari. Itu bukan kemenangan militer Iran semata, melainkan kekalahan ego yang tidak terbiasa ditantang.
Trump tak melihat Amerika sebagai negara, tapi sebagai perusahaan raksasa tempat warga kulit putih konservatif adalah pemegang saham, dan dirinya bertindak sebagai CEO tunggal. Dia menjalankan negara seperti menjalankan bisnis keluarga, penuh keputusan impulsif, loyalitas dibalas kontrak, dan kritik diperlakukan sebagai sabotase internal.
Tarif tinggi dikenakan bukan karena strategi perdagangan jangka panjang, tetapi karena dunia terlalu lama “tidak membayar cukup”. Perjanjian multilateral ditinggalkan karena tidak mencantumkan namanya di halaman depan. JCPOA, Paris Agreement, Dewan HAM PBB, semuanya dianggap membebani brand-nya, bukan bangsa.
Kebangkitan Trump bukanlah kecelakaan sejarah. Kebangkitan itu adalah hasil fermentasi puluhan tahun konservatisme Amerika yang mulai menjauh dari internasionalisme dan merapat ke politik identitas. Sejak era Reagan, benih populisme mulai tumbuh. Trump hanya memanen.
Dia mengemas keserakahan sebagai Nasionalisme, prasangka sebagai kebanggaan budaya, dan supremasi kulit putih sebagai hak istimewa yang harus dipertahankan. Bagi banyak pemilih, dia bukan hanya presiden, dia adalah wakil dari rasa sakit, nostalgia, dan kebencian yang belum selesai.
Trump tidak pernah benar-benar memimpin, dia sedang memerankan kepemimpinan. Dia bukan pembawa visi, tapi pencipta ilusi. Dalam panggung global, dia berdiri di tengah sorotan, berbicara lebih keras dari siapa pun, dan tertawa di luar nalar serta norma.
Namun sejarah bukanlah penonton yang mudah terkesan. Sejarah tidak mencatat siapa yang paling gaduh, tapi siapa yang paling berakal. Ketika lampu panggung akhirnya padam, suara Trump akan segera meredup bukan karena dibungkam, melainkan karena gema narsisme, sekeras apa pun, tak mampu melampaui sunyi nalar waras.
“Ketika pertunjukan berakhir dan tirai ditutup, bukan siapa yang paling banyak bicara yang akan dikenang, melainkan siapa yang paling sadar bahwa panggung bukanlah miliknya selamanya.” (*)
Sumber: Poros Perlawanan