BERITAALTERNATIF.COM – Media dan pengamat Israel menyoroti sejumlah indikator penting tentang krisis besar yang menjerat rezim ini akibat perang Gaza dan konflik lain di kawasan. Mereka menegaskan bahwa Benjamin Netanyahu telah mengorbankan masa depan Israel demi mempertahankan kursi kekuasaannya.
Menurut laporan Times of Israel pada 26 Maret 2025, banyak pasukan cadangan menolak atau ragu menjawab panggilan mobilisasi. Hal itu terjadi di tengah penurunan semangat tempur, tekanan ekonomi, dan beban sosial.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah tentara Israel mampu bertahan dalam perang panjang? Situasi ini diperparah oleh meningkatnya angka bunuh diri di kalangan militer serta penurunan motivasi perwira muda.
Dalam dua tahun terakhir, lembaga pemeringkat internasional seperti Moody’s dan Standard & Poor’s berulang kali menurunkan peringkat kredit Israel. Harian ekonomi Calcalist menulis bahwa perang yang berkepanjangan dan kebijakan fiskal saat ini membuat Israel terancam menghadapi penurunan lebih lanjut, biaya pinjaman yang lebih tinggi, serta investasi asing yang berkurang.
Pada 8 Juli 2025, surat kabar bisnis Globes mengutip Moody’s yang menurunkan peringkat Israel ke level terendah untuk kategori investasi, bahkan memberi peringatan kemungkinan penurunan tambahan karena tekanan keamanan dan finansial. Rasio utang terhadap PDB juga diperkirakan naik ke sekitar 75 persen akibat biaya militer yang melonjak dan perlambatan ekonomi.
Sumber di Kementerian Keuangan Israel menyebut bahwa pemerintahan Donald Trump periode kedua memutuskan memangkas bantuan finansial kepada Israel hingga 10 persen. Situs Makor Rishon (14 Mei 2025) menulis, ketergantungan Israel pada bantuan Amerika justru membatasi ruang strategisnya, sebab sebagian besar dana diarahkan ke industri militer.
Menurut analis ekonomi Eran Yeshiv, kebijakan baru Washington mencerminkan tekanan dari basis pemilih Partai Republik, yang bisa memaksa Israel menuju kemandirian militer dan finansial.
Situasi Israel tidak bisa dipisahkan dari kepentingan politik pribadi Netanyahu. Sejak 2019 ia gagal memberikan stabilitas, dibayang-bayangi kasus korupsi, dan memilih bersekutu dengan kelompok ultra-ortodoks. Menurut Yeshiv, koalisi ini rapuh, cenderung otoriter, anti-demokrasi, dan memperdalam perpecahan dalam struktur politik Israel.
Netanyahu pun bertindak layaknya penjudi politik: ketika pilihannya semakin sempit, ia mengambil risiko lebih besar, termasuk memperpanjang perang Gaza untuk menunda pemilu 2026. Demi melindungi kekuasaan, ia bahkan kerap meragukan kemampuan militer dan lembaga keamanan Israel sendiri.
Para pengamat menilai Israel sedang berjalan ke arah negara lemah, bahkan berpotensi gagal. Perang Gaza bukan lagi semata pertempuran militer, melainkan alat politik bagi Netanyahu untuk menunda pemilu dan melarikan diri dari krisis internal.
Tekanan dalam negeri pun meningkat: aksi protes keluarga tawanan, ancaman mogok ekonomi, hingga seruan dari puluhan perusahaan dan pemerintah kota pada Agustus 2025 untuk menentang arah kebijakan pemerintah.
Ismat Mansour, pakar urusan Israel, dalam wawancaranya dengan Al Jazeera mengatakan: krisis yang lahir dari era Netanyahu kini terlihat jelas.
Menurutnya, kebijakan Netanyahu membuat Israel semakin terisolasi di dunia, terjebak pada risiko perang saudara, serta menghadapi guncangan ekonomi serius.
Sementara itu, analis lain, Muhammad al-Qeeq, menegaskan bahwa Netanyahu hanya ingin menampilkan “kemenangan” pribadi lewat perang Gaza. Namun justru strategi ini membuka banyak front baru, baik militer maupun politik, yang menjadikan Israel semakin dibenci dan ditolak oleh masyarakat internasional. (*)
Sumber: Tasnim News
Penerjemah: Ali Hadi Assegaf
Editor: Ufqil Mubin