BERITAALTERNATIF.COM – Iran sejatinya telah menempuh semua jalur diplomasi yang masuk akal dan konstruktif—mulai dari Perjanjian Kairo hingga perundingan langsung dengan tiga negara Eropa, bahkan di saat tanah Iran sendiri diserang oleh Israel. Namun, Eropa tetap bersikeras pada kebijakan tekanan.
Sidang ke-80 Majelis Umum PBB dan pertemuan di sela-selanya menjadi panggung bagi upaya terakhir menjaga jalan diplomasi nuklir Iran. Delegasi diplomatik Iran yang dipimpin Abbas Araghchi bersama diplomasi aktif Presiden Masoud Pezeshkian menunjukkan bahwa Teheran sungguh menempuh setiap jalur rasional dan konstruktif. Meski begitu, Eropa tetap mempertahankan kebijakan tekanan dan lempar tanggung jawab kepada Iran.
Tuntutan tiga negara Eropa sejak awal selalu tidak masuk akal. Tujuan mereka bukanlah menyelesaikan krisis, melainkan mencari alasan untuk menekan Iran sekaligus lari dari tanggung jawab. Padahal Teheran, dalam kerangka JCPOA, sudah menjalankan kewajiban secara penuh dan menempuh seluruh jalur diplomasi yang sah.
Upaya Iran bahkan mencakup kerja sama dengan IAEA serta perundingan langsung dengan pihak Eropa di saat-saat paling krusial. Namun, dari pihak lain tak pernah ada tanggapan nyata.
Pada Jumat, 26 September 2025, Dewan Keamanan PBB menggelar sidang untuk membahas rancangan resolusi Rusia-China yang meminta perpanjangan enam bulan Resolusi 2231. Rancangan yang menekankan perlunya kerja sama Iran–IAEA serta memberi peluang baru bagi diplomasi itu ditolak dengan 9 suara menentang, 2 abstain, dan hanya 4 suara mendukung. Hasil ini memperlihatkan bahwa Eropa tidak mampu membuat keputusan independen tanpa restu Washington—sebuah kenyataan yang ditegaskan langsung oleh perwakilan Rusia.
Negara yang mendukung adalah Rusia, China, Aljazair, dan Pakistan. Yang menolak: Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Sierra Leone, Slovenia, Denmark, Yunani, dan Somalia. Guyana serta Korea Selatan memilih abstain.
Dmitry Polyansky, utusan Rusia, menyalahkan troika Eropa karena menekan Iran secara tidak masuk akal dan menyatakan aktivasi mekanisme snapback itu tidak sah.
Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menegaskan, akibat pelanggaran sepihak Barat terhadap komitmen, Iran terpaksa mengurangi sebagian kewajiban JCPOA-nya.
Araghchi menambahkan, negara-negara yang mendukung rancangan resolusi itu berada di “sisi yang benar dari sejarah” karena berusaha menjaga pintu diplomasi tetap terbuka dan menghindari konfrontasi.
Perwakilan China, Pakistan, dan Aljazair juga menekankan bahwa diplomasi dan JCPOA adalah satu-satunya jalan keluar berkelanjutan. Mereka memperingatkan bahwa ketiadaan solusi damai hanya akan mengancam keamanan regional dan internasional.
Sebaliknya, wakil Amerika Serikat, Prancis, dan Jerman menuduh Iran melanggar komitmen dan mengumumkan pengembalian sanksi.
Pada Sabtu, 27 September 2025, sebelum kembali dari New York, Presiden Masoud Pezeshkian mengatakan kepada wartawan bahwa Washington menuntut penghentian total pengayaan uranium sebagai imbalan atas penangguhan sanksi selama tiga bulan.
Pezeshkian menyebut tuntutan itu “tidak dapat diterima” dan menolaknya. “Jika kami harus memilih antara tuntutan yang tidak logis itu dan snapback, kami akan memilih snapback dan mengelola tantangan dengan cara kami sendiri,” tegasnya.
Ia menambahkan, Iran dengan dukungan rakyat serta hubungannya dengan negara-negara tetangga, anggota BRICS, dan Organisasi Shanghai, mampu melewati situasi ini.
Dia juga menegaskan tim diplomasi Iran bersama Araghchi telah menggelar banyak pembicaraan dengan berbagai negara Eropa dan Islam, dan Iran tidak akan pernah tunduk pada tekanan Barat.
Pezeshkian menekankan, Iran tidak pernah mendekati pembuatan senjata nuklir. Tujuan utama adalah menjaga perdamaian dan keamanan kawasan.
Dia juga membantah tuduhan bahwa Iran mendorong Kelompok Perlawanan, menyebutnya sebagai propaganda Israel. Menurutnya, tindakan kelompok seperti Hizbullah dan Hamas adalah reaksi langsung terhadap agresi Israel.
Ia menekankan pentingnya persatuan nasional, peningkatan kekuatan ilmiah, budaya, dan komunikasi negara, serta konsistensi pada prinsip diplomasi.
“Legitimasi Republik Islam Iran terletak pada kenyataan bahwa kami tidak mengejar senjata nuklir; tujuan Barat hanyalah menebar ketakutan,” jelasnya.
Araghchi dalam suratnya kepada Sekjen PBB dan Presiden Dewan Keamanan pada Sabtu malam menegaskan, tindakan tiga negara Eropa dan AS untuk menghidupkan kembali sanksi yang sudah berakhir berdasarkan Resolusi 2231 adalah “batal demi hukum dan tidak sah.”
Dia menekankan bahwa Iran tidak akan mengakui upaya apa pun untuk memperpanjang atau menghidupkan kembali pembatasan setelah 18 Oktober 2025.
Ia mengingatkan, tidak ada Iran maupun negara anggota PBB yang berkewajiban mematuhi langkah ilegal Barat.
Araghchi meminta Sekjen mencegah penyalahgunaan Sekretariat PBB untuk menekan Iran. Dia juga memperingatkan, setiap upaya merugikan Iran akan dibalas dengan respons yang tepat, dan tanggung jawab penuh ada pada pihak yang memilih konfrontasi.
Hasil sidang itu membuka jalan bagi kembalinya sanksi, sekaligus menandai terkuburnya JCPOA di tengah hiruk pikuk propaganda Barat—sebuah kenyataan yang diakui Araghchi sendiri.
Respons cepat Teheran dengan menarik pulang para duta besarnya dari Jerman, Prancis, dan Inggris menjadi sinyal dimulainya babak baru diplomasi nuklir Iran. Dalam fase ini, Iran tetap berpegang pada komitmen dan prinsip diplomasi, namun juga menunjukkan bahwa ia mampu mengelola jalur perundingan sekaligus menjaga keseimbangan dalam hubungan internasional.
Tahap ini mencerminkan betapa rumitnya diplomasi global dan tarik-menarik kekuatan besar, di mana perilaku irasional sebagian pihak menciptakan tantangan baru, tidak hanya bagi Iran, tetapi juga bagi komunitas internasional.
Namun pengalaman menunjukkan, peluang untuk kembali ke meja perundingan dan menghidupkan diplomasi selalu ada. Dengan pendekatan hati-hati dan rasional, Teheran diyakini tetap bisa mengelola situasi ini. (*)
Sumber: Mehr News
Penerjemah: Ali Hadi Assegaf
Editor: Ufqil Mubin