Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Dalam bentangan langit perbuatan manusia, sering terpancar kilauan kepedulian yang memikat mata. Tangan-tangan yang menebar bantuan pada sesama makhluk, menopang yang lemah, dan meringankan beban yang membutuhkan, menampilkan wajah mulia kemanusiaan. Namun, ketika gerak luhur ini berlangsung di tengah kelalaian terhadap Sang Khaliq—dengan kewajiban yang ditinggalkan dan larangan yang dirayakan—cahaya itu terungkap sebagai kilau yang terputus dari sumbernya. Ia mungkin menyandang nama kebaikan, namun hakikat “amal soleh” tetap jauh darinya. Ia bagai lentera indah yang bersinar terang, namun minyaknya tak pernah diisi, hanya memantulkan cahaya asing.
Kepedulian tulus yang mengalir deras kepada sesama manusia, namun tanpa disertai keimanan kepada Pencipta manusia itu sendiri, menempati ruang ambigu dalam peta moral. Ia sulit disebut “perbuatan baik” dalam maknanya yang utuh dan menyeluruh. Ia lebih tepat menyandang predikat “perbuatan positif”—bermanfaat secara konkret bagi penerimanya di ranah duniawi, namun berjalan dalam kesadaran yang terpisah dari kepatuhan spiritual. Ibarat sungai yang memberi kehidupan pada tanah yang dilaluinya, namun tak menyadari mata air yang menjadi asalnya, sehingga alirannya terasa hampa dari dimensi transenden.
Titik temu hakiki terletak pada kesadaran yang menyeluruh. Kepedulian yang sejati dan bermakna berakar pada pengenalan dan penghambaan kepada Sang Maha Rahman. “Amal soleh lahir dari kesatupaduan yang tak terpisahkan: pelaksanaan kewajiban-Nya, penghindaran dari larangan-Nya, dan—dengan kesadaran ilahiah yang sama—ketergerakan hati untuk peduli pada makhluk-Nya, terutama mereka yang lemah dan berhati lurus di antara manusia.” Inilah aliran jernih yang bersumber dari mata air ketakwaan, mengalir tulus menuju samudera keridhaan Ilahi. Pengabdian kepada Khalik dan pelayanan kepada makhluk-Nya menjadi dua napas dalam satu tarikan iman, dua sisi mata uang spiritual yang tak terpisahkan.
Menyelami lapisan motif di balik setiap tindakan, kita temukan bahwa klaim netralitas adalah ilusi. Setiap perbuatan, bahkan yang tampak paling altruistik sekalipun, menyimpan muatan motif dalam jaringannya. “Ketika keridhaan Tuhan atau pahala-Nya bukanlah poros penggerak utama di balik kebaikan yang ditunjukkan pada sesama, maka pusat gravitasi motif itu secara niscaya beralih ke ‘diri’—dalam berbagai manifestasi dan kedalamannya.”
Motif berpusat-diri ini terurai dalam dua bentuk utama:
Pertama, pamrih yang terang benderang: kalkulasi kepentingan pribadi. Inilah wajah motif yang paling mudah dikenali. Kebaikan berubah menjadi alat transaksi—mata uang untuk membeli reputasi, kekuasaan, imbalan materi, atau pengakuan sosial. “Ia bagai lentera yang dinyalakan dengan sengaja agar sorot cahayanya menarik perhatian pada sang pemegangnya, bukan semata untuk menerangi kegelapan jalan.” Ketulusan hakiki menguap dalam mekanisme pertukaran ini.
Kedua, “tulus” yang bersyarat: umpan balik psikis yang tak terhindarkan. Bentuk motif ini kerap terselubung jubah ketulusan dalam pandangan duniawi. Pelaku tidak secara sadar merancang keuntungan eksternal, namun tindakannya memicu respons psikologis otomatis: rasa nyaman mendalam (yang disebut kebahagiaan), pelepasan dari beban rasa bersalah, sensasi keheroikan, perasaan aman, atau pemenuhan kebutuhan psikis akan makna dan harga diri. “Umpan balik internal inilah yang menjadi bahan bakar tak terlihat bagi filantropi sekuler dan narasi peningkatan diri (self-improvement).” Meski tidak direncanakan, ia tetap memperkuat ego dan menjadikan diri sebagai pusat penerima manfaat. Ketulusan dalam konteks ini bersifat relatif, bukan mutlak, karena diri tetap menjadi tujuan terselubung.
Maka, pilihan hakiki terhampar di hadapan kita: ke mana arah orientasi amal perbuatan kita? Ke manakah kompas batin kita menunjuk saat tangan menebar kebaikan?
Ada yang terbuai oleh kilau sementara perbuatan “positif”—yang memuaskan dahaga ego atau memenuhi agenda duniawi, bagai mengejar fatamorgana di padang gersang.
Ada pula yang memilih untuk menghunjamkan akar pada cahaya abadi amal soleh—yang bersumber dari pengakuan mendalam dan penyembahan kepada Yang Maha Tunggal. “Dalam kesadaran inilah, setiap kepedulian bertransformasi menjadi ibadah yang tulus, dan setiap pelayanan menjelma manifestasi cinta kepada Sang Sumber Cinta itu sendiri.”
“Amal soleh mengajak kita melampaui pertanyaan ‘Apa yang dilakukan?’ menuju penyelidikan lebih esensial: ‘Dari sumber manakah kebaikan ini bermula?’ dan ‘Untuk Siapa hakikat persembahannya?’.” Ia adalah simfoni agung yang menyatukan langit dan bumi, gerak tangan jasmani dan ketaatan hati rohani. Dalam keselarasan inilah kebaikan menemukan keutuhannya, kemurniannya, dan keabadiannya—bukan sekadar pantulan cahaya yang menyilaukan, tetapi sumber terang sejati yang menerangi jalan pulang menuju Sang Pemilik Cahaya.
“Pusaran amal kita selalu berputar pada suatu pusat gravitasi. Mengenali pusat itu—apakah diri yang fana atau Sang Kekal Abadi—adalah intisari dari perjalanan moral manusia.” Dalam kesadaran itulah cahaya kebaikan menemukan hakikatnya. (*Cendekiawan Muslim)