Search

Ironi Upaya Pembatalan Peringatan Asyura di Bandung

Penulis. (Dok. Berita Alternatif)

Oleh: Dr. Muhsin Labib*

Peristiwa penghambatan peringatan Asyura di Bandung oleh kelompok intoleran merupakan pukulan telak bagi semangat kebinekaan dan kebebasan beragama di Indonesia. Lebih menyedihkan lagi, respons aparat keamanan yang terkesan mengutamakan tuntutan kelompok intoleran, hanya karena peringatan tersebut akan dilaksanakan oleh kelompok minoritas, menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi hak-hak konstitusional warganya. Ini bukan sekadar insiden terisolasi, melainkan cerminan dari semakin menguatnya intoleransi dan lemahnya penegakan hukum terhadapnya.

Indonesia dibangun di atas fondasi Pancasila dan UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap warga negara. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Ketika sebuah kegiatan keagamaan yang sah, seperti peringatan Asyura, dihalang-halangi oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan mayoritas, dan aparat keamanan justru memfasilitasi penghambatan tersebut, ini adalah pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip dasar negara.

Ironisnya, alasan yang seringkali digunakan untuk membenarkan tindakan seperti ini adalah “menjaga ketertiban umum” atau “mencegah konflik.” Namun, dalam konteks ini, ketertiban umum justru terganggu oleh aksi intoleran, dan tugas aparat keamanan adalah melindungi korban intoleransi, bukan sebaliknya. Ketika negara tunduk pada tekanan kelompok intoleran, ia mengirimkan pesan berbahaya bahwa minoritas tidak memiliki hak yang sama, dan bahwa kekerasan serta ancaman dapat membatalkan hak-hak konstitusional. Ini tidak hanya menciptakan preseden buruk, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap negara sebagai pelindung semua warganya, tanpa memandang suku, agama, ras, atau golongan.

Fenomena ini juga menunjukkan adanya bias mayoritarianisme yang mengkhawatirkan dalam penegakan hukum. Aparat keamanan, yang seharusnya netral dan imparsial, terkesan memilih untuk memihak kelompok mayoritas atau kelompok yang lebih vokal, meskipun tindakan mereka jelas-jelas melanggar hukum dan konstitusi. Keengganan untuk menindak tegas pelaku intoleransi dan kecenderungan untuk ‘menganjurkan’ kelompok minoritas untuk mengalah demi “kedamaian” hanyalah bentuk lain dari pembiaran. Kedamaian sejati tidak dapat dibangun di atas penindasan dan perampasan hak. Kedamaian yang dipaksakan melalui ketidakadilan hanyalah ilusi yang rapuh dan berpotensi meledak di kemudian hari.

Negara perlu melakukan introspeksi mendalam. Penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu, berdasarkan prinsip-prinsip konstitusi, bukan berdasarkan tekanan massa atau bias mayoritarian. Aparat keamanan harus dilatih dan ditegaskan kembali mengenai peran mereka sebagai pelindung hak-hak semua warga negara. Edukasi tentang kebinekaan dan toleransi juga harus digalakkan secara masif untuk melawan narasi-narasi intoleran yang terus menyebar. Jika tidak, insiden seperti peringatan Asyura di Bandung hanya akan menjadi salah satu dari banyak contoh di mana kebinekaan kita dirobek oleh intoleransi yang dibiarkan, bahkan difasilitasi, oleh mereka yang seharusnya melindunginya. (*Cendekiawan Muslim)

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

BACA JUGA

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA