Oleh: Andi Rahmad Jaya*
Puskesmas adalah garda terdepan pelayanan kesehatan masyarakat. Namun, lingkungan puskesmas yang seharusnya sehat sering kali masih dihadapkan pada tantangan serius: kebiasaan merokok. Padahal, penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) bukan hanya sekadar aturan, melainkan bagian penting dari manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di fasilitas kesehatan.
Asap rokok terbukti mengandung lebih dari 7.000 zat kimia berbahaya, termasuk ratusan yang bersifat toksik dan puluhan bersifat karsinogenik. Paparan asap rokok, baik aktif maupun pasif, dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, kanker paru, hingga gangguan pernapasan. Bagi tenaga kesehatan, kondisi ini jelas mengganggu keselamatan kerja, menurunkan produktivitas, dan mengancam kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Manajemen K3 di puskesmas harus memastikan lingkungan kerja bebas dari bahaya, termasuk bahaya asap rokok. Implementasi KTR menjadi bentuk nyata dari upaya pencegahan penyakit akibat kerja sekaligus perlindungan bagi pasien dan tenaga medis. Dengan lingkungan yang bebas rokok, risiko paparan zat berbahaya dapat ditekan, sehingga kualitas udara lebih sehat, pelayanan lebih optimal, dan citra puskesmas sebagai institusi kesehatan semakin terjaga.
Di Indonesia, dasar hukum penerapan KTR sudah sangat jelas. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2023 tentang Kesehatan secara tegas menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan sehat, termasuk bebas dari asap rokok. Lebih jauh, Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 dan sejumlah Peraturan Daerah (Perda) tentang KTR di berbagai kota menjadi landasan implementasi.
Kebijakan Provinsi Kalimantan Timur yang mengatur KTR ini terdapat dalam Peraturan Gubernur Nomor 43 Tahun 2023 tentang KTR. Intinya, KTR wajib diterapkan di 7 lokasi utama seperti fasilitas kesehatan, sekolah, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan ruang publik lain, agar ruang publik bebas asap rokok tapi merokok tetap boleh di area khusus.
Selain itu, ada regulasi yang lebih ketat mengenai iklan dan promosi rokok. Adapun kebijakan dari Pemerintah Kota Samarinda tertuang dalam Perwali Nomor 31 Tahun 2025. Isinya mengatur larangan merokok di fasilitas kesehatan, sekolah, tempat ibadah, angkutan umum, ruang kerja, dan tempat umum lainnya, plus penegasan area bebas asap rokok.
Penerapan KTR membutuhkan langkah sistematis. Pertama, penetapan kebijakan resmi dan pemasangan tanda larangan merokok di setiap sudut puskesmas. Kedua, pengawasan konsisten oleh petugas K3 dan manajemen puskesmas. Ketiga, edukasi berkelanjutan kepada pasien, pengunjung, maupun staf mengenai bahaya rokok dan manfaat lingkungan bebas asap. Tak kalah penting, adanya sanksi tegas bagi pelanggar aturan KTR agar kebijakan tidak hanya menjadi formalitas.
Selain melindungi pekerja dan pasien, penerapan KTR juga selaras dengan tujuan pembangunan kesehatan nasional dan target Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya poin 3 tentang kesehatan yang baik dan kesejahteraan. Lingkungan kerja yang sehat merupakan syarat mutlak tercapainya layanan kesehatan yang berkualitas dan berkelanjutan. Lingkungag kerja sehat tersebut dapat terwujud salah satunya melalui lingkungan yang bebas dari asap rokok.
Berbagai penelitian juga menguatkan urgensi penerapan KTR di fasilitas kesehatan. Studi oleh Sutanto dkk. (2021) dalam Indonesian Journal of Public Health menunjukkan bahwa paparan asap rokok di ruang tunggu puskesmas dapat meningkatkan keluhan pernapasan pada pengunjung hingga 40%. Angka ini sangat besar dan harus menjadi perhatian khusus. Puskesmas merupakan fasilitas kesehatan di mana dalam upaya kuratif, merupakan fasilitas masyarakat untuk mendapatkan pelayanan pengobatan.
Namun tujuan tersebut akan terhambat jika saat dalam proses pelayanan di puskesamas, pasien terpapar asap rokok. Hal ini membuktikan bahwa kebijakan tanpa rokok tidak sekadar retorika, melainkan kebutuhan mendesak demi keselamatan pasien dan tenaga kesehatan.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa masih ada pengunjung, bahkan sebagian staf, yang belum sepenuhnya menaati aturan ini. Tantangan budaya dan persepsi masyarakat yang menganggap merokok sebagai hak pribadi seringkali menjadi penghalang. Padahal, merokok di ruang publik bukan sekadar urusan pribadi, tetapi persoalan keselamatan bersama.
Di sinilah pentingnya komitmen manajemen puskesmas untuk tidak hanya menyediakan tanda larangan, tetapi juga melakukan pendekatan persuasif dan, bila perlu, penegakan aturan yang lebih tegas.
Penerapan KTR di puskesmas adalah ujian nyata komitmen kita terhadap keselamatan dan kesehatan kerja. Program ini bukan hanya tentang mengurangi asap rokok, melainkan tentang bagaimana kita menempatkan keselamatan manusia sebagai prioritas utama. Jika puskesmas sebagai pusat pelayanan kesehatan saja tidak bisa sepenuhnya bebas asap, bagaimana kita bisa berharap masyarakat luas akan disiplin?
Sudah saatnya masyarakat mendukung penuh kebijakan KTR di puskesmas. Dengan manajemen K3 yang konsisten, tenaga kesehatan terlindungi, pasien merasa aman, dan masyarakat mendapatkan pelayanan yang benar-benar menyehatkan. Merokok mungkin dianggap kebiasaan pribadi, tetapi dampaknya menyangkut keselamatan banyak orang. (*Mahasiswa Magister Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman)