Search

Pemakaian APD Lengkap dalam Pengelolaan Limbah Medis Berbahaya

Penulis. (Berita Alternatif via penulis opini)

Oleh: Wahyu Handoyo*

Kalau kita pergi berobat ke rumah sakit, biasanya yang kita perhatikan adalah dokter, obat, atau pelayanan. Padahal, ada pekerjaan penting yang sering luput dari perhatian: bagaimana petugas mengelola limbah medis setiap hari. Limbah medis ini bukan sekadar sampah biasa. Ada jarum suntik bekas, sarung tangan terkontaminasi, masker sekali pakai, sampai sisa cairan tubuh pasien. Bayangkan jika benda-benda itu tidak dikelola dengan benar—risikonya bisa menular ke petugas, keluarga pasien, bahkan ke masyarakat luas.

Di sinilah Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) memegang peran kunci. Petugas pengelola limbah medis bekerja di garis depan risiko, sehingga Alat Pelindung Diri (APD) bukanlah pilihan, tapi kewajiban. Sarung tangan, masker, pelindung mata, sepatu boot, hingga pakaian pelindung adalah “tameng” yang melindungi mereka dari infeksi, luka, dan paparan bahan berbahaya.

Sayangnya, kenyataan di lapangan belum selalu ideal. Beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa pemakaian APD lengkap masih sering diabaikan. Misalnya, ada petugas yang hanya mengenakan sarung tangan dan masker, tanpa apron atau pelindung mata. Penelitian di rumah sakit Sukoharjo menemukan pemilahan limbah sudah baik, tetapi pengangkutan sering dilakukan tanpa APD lengkap (Astuti & Marwati, 2021).

Di Lampung, jalur pengangkutan limbah masih melewati area umum, sementara petugas tidak selalu disiplin memakai pelindung tubuh (Hastuti dkk., 2020). Situasi ini jelas berbahaya, bukan hanya bagi petugas, tapi juga bagi orang-orang di sekitarnya.

Masalahnya tidak berhenti di situ. Saat pandemi Covid-19, penggunaan APD meningkat drastis. Penelitian mencatat bahwa di Jakarta, timbulan limbah APD bisa mencapai 0,17 kg per orang per hari (Rahman dkk., 2021). Artinya, selain melindungi petugas, APD juga menambah beban limbah medis yang harus dikelola dengan hati-hati. Tantangannya jadi berlapis: melindungi petugas sekaligus memastikan limbah APD tidak mencemari lingkungan.

Kalau begitu, apa solusinya? Pertama, rumah sakit dan fasilitas kesehatan harus menjamin ketersediaan APD lengkap dalam kondisi baik. Tidak cukup hanya ada, tapi juga harus sesuai standar dan nyaman dipakai.

Kedua, pelatihan rutin penting agar petugas terbiasa menggunakan APD sesuai prosedur. Ketiga, pengawasan perlu konsisten, jangan hanya tegas di atas kertas. Dan yang tak kalah penting, membangun budaya keselamatan. Petugas harus merasa bahwa memakai APD adalah bentuk kepedulian terhadap diri sendiri, keluarga, dan masyarakat.

Pemerintah juga mempunyai andil besar. Regulasi terkait limbah medis sudah ada, tapi penerapan di lapangan masih perlu diperkuat. Dinas kesehatan bisa lebih rutin turun tangan, memberi pembinaan sekaligus memastikan setiap fasilitas benar-benar patuh pada aturan K3.

Mengelola limbah medis memang bukan pekerjaan yang terlihat glamor. Namun, di balik kesibukan rumah sakit, ada para petugas yang setiap hari menghadapi risiko besar demi menjaga kita tetap aman. Mereka berhak mendapatkan perlindungan terbaik. Pemakaian APD lengkap bukan hanya tentang aturan K3, tapi tentang menghargai nyawa dan keselamatan mereka.

Jadi, mari kita dukung penerapan K3 melalui pemakaian APD lengkap dalam pengelolaan limbah medis berbahaya. Karena ketika mereka terlindungi, kita semua pun ikut terlindungi. (*Mahasiswa Magister Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman)

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

BACA JUGA

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA