Search

Menjaga Jurnalis lewat Manajemen K3

Penulis. (Berita Alternatif via penulis opini)

Oleh: Sayyid Muhammad Taqie*

Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) tidak hanya berbicara tentang APD seperti helm dan rompi, tetapi juga soal perlindungan hukum agar jurnalis tidak menjadi korban kriminalisasi.

Sebagai bagian dari manajemen perusahaan media, saya sering menyaksikan bagaimana para jurnalis bekerja di lapangan. Terkadang mereka berlari mengejar narasumber, menghadapi situasi genting di lokasi bencana/tidak kondusif, hingga terlibat dalam kerumunan saat meliput aksi massa. Di balik berita yang sampai ke handphone pembaca, ada risiko besar yang mereka hadapi. Dari situlah saya memahami, bahwa penerapan K3 bagi jurnalis bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan utama.

Orang-orang menganggap profesi jurnalis sebatas menulis berita atau memegang kamera. Namun, kenyataannya jauh lebih beragam. Jurnalis adalah mata dan telinga publik, dan dalam menjalankan tugasnya mereka harus siap menghadapi berbagai risiko. Saat meliput bencana, ancamannya bisa berupa bangunan yang hampir roboh, arus banjir, atau listrik yang masih aktif di area genangan.

Saat meliput demonstrasi, risiko lemparan benda keras, gas air mata, bahkan benturan fisik dengan massa sangat mungkin terjadi. Belum lagi risiko kelelahan akibat jam kerja panjang, perjalanan malam, serta tekanan psikologis yang muncul dari pengalaman menghadapi peristiwa traumatis.

Dari sudut pandang saya sebagai administrator, K3 adalah pelindung yang wajib dimiliki setiap jurnalis. Tanpa sistem K3 yang baik, perusahaan media seolah membiarkan jurnalis bergantung pada keberuntungan. Padahal, perusahaan justru punya tanggung jawab moral dan profesional untuk melindungi jurnalis. Mereka adalah aset utama, dan aset itu harus dijaga dengan keseriusan yang sama seperti menjaga kredibilitas pemberitaan.

Menurut saya, ada beberapa langkah konkret yang dapat dan harus dilakukan perusahaan media dalam rangka menerapkan K3. Pertama, menyusun standar operasional keselamatan. Hal ini mencakup pelatihan dasar menghadapi keadaan darurat, penggunaan alat pelindung diri, hingga prosedur evakuasi jika situasi lapangan memburuk. Kedua, penyediaan perlengkapan pelindung minimal, seperti helm, rompi, masker, atau sepatu boots untuk liputan di lokasi bencana.

Ketiga, perusahaan juga harus memberi perhatian pada kesehatan mental jurnalis. Banyak di antara mereka yang menyaksikan korban bencana, kecelakaan, bahkan konflik berdarah. Tanpa pendampingan psikologis, trauma semacam ini bisa memengaruhi kondisi jangka panjang.

BPJS atau asuransi kesehatan lainnya dan jaminan ketenagakerjaan juga tidak boleh dipandang sebelah mata. Saya melihat masih ada jurnalis yang bekerja tanpa perlindungan memadai. Mereka berhadapan dengan risiko harian, tetapi jika terjadi kecelakaan kerja, beban ditanggung sendiri. Hal ini jelas tidak adil. Perusahaan media seharusnya memastikan setiap jurnalis terlindungi secara finansial maupun medis.

Dengan begitu, mereka dapat bekerja dengan tenang, tanpa rasa khawatir berlebihan. Prinsip ini selaras dengan ILO Convention Nomor 155, yang menegaskan bahwa keselamatan kerja mencakup perlindungan fisik maupun mental pekerja.

Namun, keselamatan bagi jurnalis tidak berhenti pada aspek fisik dan mental saja. Risiko lain yang sering kali menghantui adalah risiko hukum. Tidak sedikit jurnalis yang berhadapan dengan ancaman kriminalisasi atau gugatan hukum karena liputannya. Saat mengungkap kasus korupsi, mereka bisa digugat balik. Saat mengkritik kebijakan, mereka terancam dipidanakan dengan pasal karet. Situasi ini menunjukkan bahwa jurnalis juga berhadapan dengan bahaya di ranah hukum, yang sama seriusnya dengan bahaya di lapangan.

Saya berpendapat bahwa perlindungan hukum juga harus menjadi bagian dari K3 modern di dunia jurnalisme. Keselamatan sejati adalah ketika jurnalis tidak hanya pulang dengan tubuh utuh, namun juga bebas dari jeratan hukum yang mengintimidasi pekerjaannya. Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dengan tegas menyebutkan bahwa jurnalis mendapat perlindungan hukum ketika menjalankan tugas jurnalistik. Peraturan Dewan Pers Nomor 5 Tahun 2011 tentang Standar Perlindungan Profesi Wartawan bahkan secara eksplisit menekankan pentingnya perlindungan fisik, psikis, dan hukum bagi wartawan. Hal ini diperkuat pula oleh laporan UNESCO tahun 2022, yang menegaskan bahwa keselamatan jurnalis mencakup perlindungan dari kriminalisasi dan ancaman hukum yang tidak adil.

Selain itu, UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja menegaskan kewajiban perusahaan untuk menjamin keselamatan dan kesehatan kerja bagi seluruh pekerja, termasuk jurnalis. Artinya, dari sisi regulasi nasional, dasar hukum untuk melindungi jurnalis sudah tersedia. Tinggal bagaimana perusahaan media benar-benar menjalankan aturan tersebut, tidak hanya menjadikannya dokumen administrasi yang diisi untuk formalitas saja.

Saya juga merasa bahwa kesadaran akan K3 di kalangan jurnalis masih perlu ditingkatkan. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa keselamatan diri bisa dikesampingkan demi mendapatkan berita eksklusif. Pola pikir seperti ini perlu diubah. Perusahaan (manajemen) harus hadir memberi edukasi bahwa keselamatan adalah prioritas. Berita bisa ditunda, tetapi nyawa tidak bisa diganti. Begitu pula dengan aspek hukum, liputan bisa dijadwalkan ulang, tetapi hak kebebasan pers harus selalu dijaga.

Berdasarkan pengalaman saya mengelola administrasi perusahaan, perhatian terhadap K3 justru memberikan dampak positif yang lebih luas. Jurnalis yang merasa dilindungi akan bekerja lebih optimal. Mereka bisa fokus menghasilkan berita yang akurat dan bermutu, tanpa dihantui rasa takut. Hubungan antara manajemen dan jurnalis pun menjadi lebih sehat karena ada rasa saling percaya.

Keselamatan jurnalis berarti perlindungan fisik, mental, dan hukum. Tiga hal yang tidak boleh dipisahkan.

Pada akhirnya, saya percaya bahwa manajemen K3 adalah wujud penghargaan sekaligus investasi perusahaan terhadap jurnalis. K3 bukan hanya tentang mengurangi risiko kecelakaan, tetapi juga tentang membangun budaya kerja yang lebih manusiawi. Dengan K3, perusahaan media tidak hanya melindungi pekerjanya, tetapi juga menjaga keberlanjutan dan keakuratan informasi yang dibutuhkan masyarakat.

Berita memang penting, tetapi keselamatan jauh lebih penting. Tugas utama perusahaan media adalah memastikan bahwa jurnalis tidak hanya pulang membawa laporan berita, melainkan juga pulang ke rumah dengan selamat—baik secara fisik, mental, maupun hukum. Karena tanpa jurnalis yang sehat dan terlindungi, tidak ada berita yang bisa sampai ke hadapan publik. (*Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Mulawarman)

Referensi

  • International Labour Organization (ILO). (1981). Convention No. 155 on Occupational Safety and Health.
  • (2022). World Trends in Freedom of Expression and Media Development: Global Report. Paris: UNESCO.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
  • Peraturan Dewan Pers Nomor 5/Peraturan-DP/X/2011 tentang Standar Perlindungan Profesi Wartawan.

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

BACA JUGA

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA