Search

Melihat Spektrum Khamenei

Penulis. (Istimewa)

Oleh: Dr. Muhsin Labib

Sebutan “alim” dan “ulama” juga semacamnya bisa serupa, namun muatannya tak sama. Banyak yang menyandang gelar itu sekadar karena pengakuan umum atau atribut lahiriah, tetapi dalam tradisi Syiah—sebuah peradaban yang mengikat jubah dan serban dengan tanggung jawab transenden—penampilan lahir diselaraskan secara ketat dengan kapabilitas keilmuan yang terverifikasi dan integritas moral yang terkonfirmasi.

Di tengah gemuruh konfrontasi epik abad ini—Israel, didukung hegemoni Amerika Serikat dan sekutunya, berhadapan dengan Iran yang bertahan tegar di bawah cengkeraman embargo lebih dari empat dekade—sosok Ali Khamenei menjulang laksana monumen abadi, tak tergoyahkan oleh amukan badai zaman. Wajahnya, yang kini menghiasi TikTok, Instagram, dan ruang-ruang digital, bukan sekadar ikon populer semata. Ia adalah cermin keteguhan sebuah peradaban yang mengabadikan pekik “Pantang Hina” Al-Husain di Karbala.

Di jantung peradaban keilmuan Syiah, kota suci Qom dan Najaf, gelar Ayatullah al-Uzhma adalah mahkota langka. Hanya segelintir Mujtahid yang menaklukkan puncak yurisprudensi Islam (fiqh) dan kemurnian moral yang menyandangnya. Khamenei adalah salah satu permata di antara yang terpilih ini. Sebagai Marja’ Taqlid, ia berdiri di strata tertinggi keulamaan. Fatwanya—buah istinbath (penalaran yurisprudensial) yang mendalam—menjadi bintang penunjuk arah bagi jutaan yang bertaqlid kepadanya. Statusnya sebagai rujukan utama bertumpu pada keunggulan ilmunya (a’lamiyah) yang teruji dan integritas moralnya (al-adalah) yang diakui luas. Ia tidak memberi instruksi, melainkan fatwa yang memandu pilihan mereka yang menjadikannya referensi. Di antara puluhan Marja’ di Iran dan Irak, hanya segelintir—kurang dari dua puluh—yang dirujuk oleh lebih dari sepuluh juta jiwa. Dua nama bersinar paling terang: Ayatullah Sayyid Ali Sistani di Najaf, pilar dunia Arab, dan Ayatullah Sayyid Ali Khamenei di Qom, benteng keagamaan Iran. Keduanya bagai mercusuar yang menyinari cakrawala Syiah, memandu umat dengan cahaya kebijaksanaan dan keteladanan.

Namun, keagungan Khamenei melampaui batas keilmuan semata. Dalam doktrin otoritas vertikal al-wilayah, ia adalah Wali Faqih, wakil Imam Mahdi yang gaib. Mandat suci ini menempatkannya sebagai penjaga umat di tengah masa kegaiban. Otoritasnya bukan sekadar religius; ia adalah kekuatan tunggal yang mengikat secara keagamaan dan temporal, menjangkau lebih jauh dari fatwa fiqh biasa. Berbeda dengan otoritas personal seorang Marja’ yang dipilih oleh pengikutnya, Wali Faqih merupakan pilar tunggal bagi para penganut al-wilayah. Disebut sebagai Imam dalam pengertian sekunder, ia memimpin dengan visi ilahi demi menjaga kemaslahatan Islam dan umatnya.

Di pusaran badai geopolitik, di bawah embargo dan ancaman militer yang tak kunjung henti, Khamenei tampil sebagai Rahbar, Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran. Jabatan politik kenegaraan tertinggi ini, yang berkuasa dalam batas teritorial Iran, memikul otoritas strategis yang krusial. Dipilih oleh Dewan Ahli (Majlis-e Khobregan), badan ulama terpilih rakyat, ia memegang kendali sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata—bukan presiden—serta menjadi arsitek kebijakan strategis dan pengawas lembaga-lembaga negara inti. Perintahnya mengikat secara konstitusional bagi seluruh warga Iran, Syiah maupun non-Syiah, menjadikannya nahkoda yang memandu peradaban melawan arus deras imperialisme. Dalam konfrontasi kolosal melawan aliansi Barat pendukung Israel, Khamenei, sang Rahbar, adalah benteng spiritual yang menjulang tinggi, memimpin Iran yang terkepung dengan keteguhan yang tak pernah goyah. Dalam peran ini, ia menjelma menjadi simbol perlawanan sejati, mercusuar yang menolak padam di hadapan tekanan global.

Di balik benturan ideologis, tersembunyi perjuangan lebih subtil namun fundamental: upayanya membangun konsolidasi umat Islam melalui pembersihan ekosistem Syiah sendiri.

Dengan kesadaran tajam, Khamenei gencar memberantas benih-benih ekstremisme dan intoleransi dalam tubuh komunitas Syiah—sebuah misi yang kerap menghadapi tantangan berat dari anasir destruktif internal. Kelompok-kelompok radikal yang menyemai takfir (pengkafiran sewenang-wenang) atau sikap sektarian sempit, tanpa disadari telah memberi amunisi pada narasi intoleran kalangan ekstremis Sunni. Melalui khutbah, fatwa, dan kebijakan pendidikan, ia konsisten menegakkan prinsip al-i’tidal (moderasi) dan menolak penyimpangan ajaran. Upaya ini bukan saja melindungi kemurnian mazhab, tetapi juga membuka jalan bagi persatuan Islam yang utuh, memutus siklus permusuhan sektarian yang melemahkan peradaban Islam.

Visi ideologisnya yang tak tergoyahkan—anti-Zionisme dan dukungan tanpa kompromi bagi Palestina—menjadi denyut nadi strategi Iran. Di bawah kepemimpinannya, negeri itu menunjukkan ketahanan luar biasa menghadapi embargo 40 tahun. Sanksi yang dirancang melumpuhkan justru memicu kebangkitan industri pertahanan: Iran kini kekuatan regional dalam teknologi rudal dan drone hemat biaya, dengan 3.000 rudal balistik yang mampu mencapai Israel. Khamenei konsisten mengartikulasikan tekad baja Iran—sumpah “balas dendam kuat” atas pembunuhan Soleimani, peringatan akan nasib “pahit” bagi Israel pasca-serangan 2025, hingga perintah eksplisit untuk respons “tak terbayangkan” pada Oktober 2024. Sentralitas inilah yang menjadikannya target utama musuh.

Pada puncak badai, terpancarlah hakikat keagungan Khamenei. Ia bukan sekadar Marja’ Taqlid pemandu pengikut, bukan semata Wali Faqih pemegang mandat transenden, atau Rahbar panglima geopolitik. Ia adalah arsitek persatuan yang membersihkan rumahnya sendiri sebelum menyerukan rekonsiliasi umat. Sintesis tiga otoritas itu melebur dengan misi keempat: pemurnian internal melawan ekstremisme, sebagai landasan etis bagi konsolidasi Islam global. Viralitasnya di media sosial hanyalah bayang-bayang cahaya multidimensi yang bersumber pada tradisi suci, keteguhan politik, dan komitmen membersihkan jalan menuju persaudaraan sejati. Dalam konfrontasi kolosal melawan hegemoni, Ayatullah Ali Khamenei adalah titik temu keabadian iman, keberanian Asyura, dan visi inklusivitas yang menolak dikotomi sempit—sebuah mercusuar yang menyala terik, menantang gelombang, mengarahkan peradaban menuju fajar keadilan.

Dengan segala keagungannya, Khamenei tetaplah putra ideologis dan produk unggulan Sang Pendiri Republik Islam Iran, Reformator Terkemuka Syiah, Pencetus Revolusi Islam, seorang Marja’ agung, filsuf besar, mistikus terkemuka, sekaligus politikus legendaris: Ayatullah al-Uzhma Imam Sayyid Ruhullah Musawi Khomeini. (*Cendekiawan Muslim)

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

BACA JUGA

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA