Search

Keselamatan Kerja di Balik Dapur MBG

Penulis. (Berita Alternatif via penulis opini)

Oleh: Karolina Puspitasari*

Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang saat ini beroperasi di beberapa kota, termasuk Samarinda, memiliki harapan besar untuk meningkatkan kesejahteraan gizi masyarakat. Saat ini sudah terdata sebanyak 13 SPPG beroperasi di Samarinda dengan total penyediaan sekitar 28.184 porsi per hari.

Namun, di balik piring-piring makanan yang tersaji, ada pekerja dapur yang setiap hari menghadapi panas kompor, kontak air terus-menerus, dan beban kerja yang berat. Sayangnya, masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di dapur MBG terabaikan.

Petugas dapur menghadapi risiko pekerjaan yang sebenarnya. Kecelakaan yang sering mengintai termasuk luka bakar akibat minyak panas, luka teriris saat memasak, atau terpeleset karena lantai licin. Selain itu, terdapat pula paparan asap dapur, suhu tinggi, dan posisi kerja yang tidak ergonomis. Menurut penelitian Rahmawati dkk. (2022) dalam Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, pekerja di dapur produksi makanan berisiko tinggi mengalami gangguan muskuloskeletal akibat postur kerja tidak tepat dan minimnya penggunaan alat pelindung diri. Jika tidak dikelola dengan baik, kesehatan petugas akan terganggu dan kualitas makanan yang dihasilkan juga akan terancam.

Manajemen K3 di dapur MBG sebenarnya lebih dari sekadar protokol. Standar keselamatan memungkinkan karyawan bekerja dengan lebih aman dan nyaman. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) sederhana sangat membantu mengurangi risiko kecelakaan. Hal ini mencakup penggunaan sarung tangan, celemek tahan panas, dan alas kaki anti selip.

Pelatihan rutin tentang cara kerja yang benar, penanganan bahan makanan, dan tata letak dapur yang ergonomis juga dapat meningkatkan keselamatan petugas. Sebuah studi oleh Nugroho & Lestari (2021) dalam Indonesian Journal of Occupational Safety and Health menunjukkan bahwa pelatihan K3 secara berkala terbukti menurunkan angka kecelakaan kerja hingga 35% di fasilitas pengolahan pangan.

Di lingkungan kerja, ventilasi yang baik, pencahayaan yang cukup, dan sistem sanitasi yang bersih sangat penting untuk menjaga makanan tetap berkualitas, lingkungan kerja yang sesuai standar bukan hanya untuk kenyamanan dan kesehatan petugas tetapi juga untuk kualitas makanan yang dihasilkan.

Keberhasilan penerapan K3 sangat bergantung pada manajemen instansi penyelenggara MBG yang melibatkan lintas sektor terkait sebagai pendamping dan pengawas seperti Dinas Kesehatan dan Dinas Tenaga Kerja. WHO (2021) dalam food safety in community settings juga menekankan bahwa penerapan higiene dan sanitasi yang memadai di dapur komunitas tidak hanya melindungi pekerja, tetapi juga mencegah risiko penyakit bawaan makanan (foodborne diseases) yang dapat merugikan masyarakat luas. Perlu ditekankan bahwa menjaga keselamatan petugas dapur sama dengan menjaga keberlanjutan program MBG.

Ketika petugas aman dan sehat, mereka dapat bekerja dengan lebih baik dalam menyediakan makanan sehat bagi masyarakat. Sebaliknya, jika risiko diabaikan, petugas akan dirugikan, dan tujuan penting untuk meningkatkan status gizi masyarakat akan terhambat.

Makanan bergizi memang penting, tetapi tenaga kerja yang sehat dan terlindungi juga penting untuk keberlanjutan layanan publik yang baik. Sudah saatnya semua pihak—mulai dari pengelola program, pemerintah daerah, hingga masyarakat—menaruh perhatian serius pada aspek K3.

Program MBG tidak akan berjalan sukses bila aspek keselamatan kerja diabaikan. Pekerja dapur bukan sekadar penyaji makanan, melainkan pahlawan gizi yang berdiri di garis depan dalam memastikan generasi kita tumbuh sehat dan kuat. Sudah seharusnya mereka mendapat perlindungan maksimal melalui manajemen K3 yang terintegrasi.

Jika menilik praktik di beberapa negara lain, penerapan K3 di dapur komunitas bahkan dijadikan tolak ukur mutu layanan publik. Misalnya, di Jepang dan Korea Selatan, pelatihan K3 dan keamanan pangan bagi petugas dapur sekolah dilakukan secara berkala dan menjadi bagian dari audit tahunan.

Pemerintah setempat menyadari bahwa kecelakaan kerja kecil seperti luka bakar atau kontaminasi silang dapat berimplikasi besar pada kepercayaan masyarakat. Indonesia, termasuk Samarinda, perlu belajar dari praktik baik ini untuk memperkuat program MBG agar tidak hanya sekadar ada di atas kertas, tetapi benar-benar berjalan dengan standar internasional.

Namun, harus diakui bahwa implementasi K3 di lapangan masih jauh dari ideal. Masih banyak dapur pengelola makanan yang menganggap penggunaan APD atau pelatihan rutin sebagai beban biaya. Belum lagi budaya kerja yang masih menganggap keselamatan sebagai hal sekunder. Tidak jarang kita mendengar alasan keterbatasan anggaran menjadi penghambat.

Padahal, biaya akibat kecelakaan kerja atau penurunan kualitas layanan justru bisa jauh lebih besar daripada investasi awal pada K3. Investasi pada keselamatan pekerja berarti investasi pada keberlanjutan program. Pemerintah daerah, khususnya di Samarinda, perlu menjadikan aspek K3 sebagai indikator utama keberhasilan MBG, setara dengan kualitas gizi yang tersaji di piring.

Makan bergizi hanya akan bermakna jika disiapkan dengan cara yang aman dan melindungi pekerja. Mari kita dorong semua pihak—pengelola program, pemangku kebijakan, hingga masyarakat—untuk peduli pada keselamatan kerja di dapur MBG. Melindungi pekerja dapur adalah langkah nyata melindungi masa depan gizi bangsa. (*Mahasiswi Magister Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman)

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

BACA JUGA

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA