Search

Manajemen K3 di Industri Migas, Saatnya Kesehatan Mental Menjadi Prioritas

Penulis. (Berita Alternatif via penulis opini)

Oleh: dr. Susiana Ambarwaty*

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam industri minyak dan gas (migas) selama ini seringkali diasosiasikan secara sempit hanya sebatas penyediaan alat pelindung diri seperti helm dan sepatu keselamatan. Padahal, keselamatan dan kesehatan kerja harus lebih dari itu, terutama dalam konteks pekerja migas yang menghadapi tekanan fisik dan psikologis tinggi setiap hari.

Keselamatan fisik adalah prioritas utama, dan sudah selayaknya demikian, mengingat tingginya risiko kecelakaan fatal di sektor ini. Namun, di tengah gemuruh mesin dan jauhnya lokasi pengeboran, ada satu aspek krusial yang kerap terabaikan, yaitu kesehatan mental pekerja, terutama mereka yang menjalani sistem kerja shift.

Di Kalimantan Timur, pola kerja 12 jam dengan sistem 3:3:3, 5:5:5 ataupun two weeks on dan two weeks off telah menjadi hal umum di industri migas. Sistem ini memang menjamin operasi terus berjalan, tetapi juga menggerus waktu istirahat dan berisiko memicu kelelahan, stres, bahkan burnout. Kondisi ini bukan hanya menurunkan produktivitas, tetapi juga meningkatkan peluang kecelakaan kerja. Hal ini menjadi ancaman nyata yang kadang lebih berbahaya daripada mesin berat sekalipun.

Saat ini, sudah saatnya kita menyadari bahwa keselamatan dan kesehatan kerja sejatinya adalah perlindungan holistik, mencakup raga dan jiwa. Bagi pekerja migas, tantangan mental mereka adalah bahaya tak terlihat yang sama mematikannya dengan kegagalan peralatan.

Sistem manajemen K3 di sektor migas sebaiknya mengadopsi pendekatan yang lebih holistik dengan memasukkan perhatian serius pada kesehatan mental pekerja, guna meningkatkan keselamatan, produktivitas, dan kesejahteraan secara menyeluruh.

Pekerja shift pada industri migas adalah tulang punggung keberlangsungan operasi industri yang berisiko tinggi. Mereka bekerja dalam sistem kerja bergilir dengan jadwal yang tidak menentu, sering kali di lingkungan ekstrim dan penuh tekanan.

Siklus kerja yang berputar seperti pagi, sore, dan malam ini memaksa tubuh menyesuaikan irama biologis yang alami, sehingga rentan mengalami gangguan tidur, kelelahan kronis, dan stres berkepanjangan. Bila aspek kesehatan mental mereka diabaikan, potensi kecelakaan kerja meningkat secara signifikan karena penurunan kewaspadaan dan kemampuan pengambilan keputusan.

Oleh karena itu, manajemen K3 bukan sekadar memastikan pemakaian helm dan sepatu keselamatan, melainkan juga harus mengimplementasikan program yang mengedepankan kesehatan mental. Beberapa perusahaan migas global telah mulai memanfaatkan pendekatan ini dengan menyediakan layanan konseling, fasilitas relaksasi, pelatihan manajemen stres, serta menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kesehatan psikologis. Hal ini adalah langkah maju yang perlu diadopsi secara luas di industri migas Indonesia.

Pentingnya perhatian pada kesehatan mental pekerja shift juga didukung oleh riset yang menunjukkan hubungan erat antara stres kerja dengan risiko kecelakaan dan penurunan produktivitas. Menurut data WHO, gangguan kesehatan mental di tempat kerja menyumbang kerugian produktivitas global hingga triliunan dolar setiap tahun. Di sektor migas, di mana kesalahan kecil bisa berakibat fatal, kewaspadaan terhadap kesejahteraan mental bukanlah pilihan, melainkan kewajiban.

Manajemen K3 yang efektif harus mengintegrasikan pendekatan preventif dan promotif untuk kesehatan mental. Preventif berupa identifikasi dini tanda-tanda gangguan psikologis, misalnya melalui screening rutin kesehatan mental atau pemantauan intensitas stres pekerja. Sedangkan promotif dapat berupa pelatihan keterampilan coping stress, membangun komunikasi terbuka antara manajemen dan pekerja, dan menyediakan fasilitas pendukung seperti ruang relaksasi yang nyaman.

Selain itu, budaya perusahaan yang sehat menjadi fondasi utama keberhasilan program K3 yang memperhatikan kesehatan mental. Manajer dan supervisor perlu dilatih untuk mengenali gejala stres dan depresi, serta mampu memberikan dukungan atau arahan yang tepat tanpa stigma. Sikap terbuka ini hendaknya ditularkan agar seluruh pekerja merasa aman untuk berbicara tentang masalah mental mereka tanpa takut diskriminasi.

Peran teknologi juga dapat dimaksimalkan dalam mendukung manajemen K3 yang peduli kesehatan mental. Aplikasi digital untuk pelaporan kondisi psikologis secara anonim, platform konsultasi online dengan psikolog, dan sistem pengaturan jadwal kerja berbasis data kesehatan dapat membantu mengurangi beban kerja berlebih dan stres di kalangan pekerja shift.

Sebagai penutup, transformasi manajemen K3 di industri migas perlu lebih dari sekadar memenuhi standar keselamatan fisik dengan helm dan sepatu. Perhatian serius terhadap kesehatan mental pekerja shift harus menjadi prioritas agar mereka dapat bekerja dengan aman, produktif, dan merasa dihargai.

Dengan demikian, keselamatan kerja sejati adalah hasil dari pengelolaan K3 yang terpadu antara aspek fisik dan mental. Saatnya semua pemangku kepentingan di industri migas berkomitmen bersama mengadopsi paradigma baru ini demi masa depan kesehatan dan keselamatan kerja yang lebih baik. (*Praktisi K3 Migas serta Mahasiswi Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman)

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

BACA JUGA

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA