Oleh: Rivana Firnanda*
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) masih sering dipandang sebelah mata di banyak tempat kerja. Ia dianggap sekadar kewajiban administratif, dokumen untuk memenuhi aturan, atau laporan agar lolos inspeksi. Padahal, penerapan Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (MK3) sejatinya adalah investasi terbesar yang dimiliki perusahaan maupun pemerintah dalam menjaga keberlangsungan tenaga kerja.
Di Kalimantan Timur, isu ini terasa semakin mendesak. Provinsi ini bukan hanya pusat industri tambang dan energi, tetapi juga sedang bersiap menjadi penyangga utama pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Aktivitas industri berisiko tinggi—seperti pertambangan batu bara, konstruksi berskala besar, dan migas—akan semakin meningkat. Tanpa keseriusan dalam menerapkan MK3, pembangunan yang diharapkan membawa kemajuan justru bisa meninggalkan jejak luka, baik secara manusiawi maupun ekonomi.
Kasus kecelakaan kerja bukan hal asing di Kaltim. Berita tentang pekerja tambang yang terjebak longsor, teknisi yang terpapar gas berbahaya, atau pekerja konstruksi yang mengalami cedera saat proyek pembangunan, masih sering terdengar. Data BPJS Ketenagakerjaan mencatat bahwa secara nasional angka kecelakaan kerja masih cukup tinggi, dengan kontribusi besar dari sektor industri ekstraktif.
Setiap insiden membawa konsekuensi berat: korban kehilangan kesehatan bahkan nyawa, keluarga kehilangan pencari nafkah, perusahaan menanggung kerugian finansial, dan citra daerah ikut tercoreng. Artinya, K3 bukan sekadar isu teknis, melainkan persoalan kemanusiaan sekaligus pembangunan berkelanjutan.
Banyak pihak memandang MK3 sebatas kepatuhan hukum. Perusahaan menyiapkan dokumen, memasang rambu peringatan, dan membagikan alat pelindung diri hanya untuk memenuhi syarat audit. Namun penerapan setengah hati seperti ini tidak akan mengubah situasi di lapangan.
MK3 yang dijalankan dengan sungguh-sungguh justru memberikan keuntungan nyata. Pekerja yang merasa aman akan bekerja lebih produktif. Biaya akibat kecelakaan, seperti kompensasi medis, klaim asuransi, hingga kerugian waktu kerja, bisa ditekan. Tidak kalah penting, perusahaan akan dipandang lebih profesional oleh investor maupun mitra bisnis.
Dalam konteks pembangunan IKN, hal ini menjadi semakin relevan. Dunia internasional tengah mengawasi bagaimana Indonesia mengelola pembangunan ibu kota baru. Penerapan K3 yang baik akan menunjukkan bahwa Kaltim siap menjadi wajah kemajuan, bukan hanya dari sisi infrastruktur, tetapi juga peradaban kerja yang beradab.
K3 tidak bisa hanya dibebankan kepada perusahaan. Pemerintah daerah memegang peran penting dalam memastikan regulasi tidak berhenti di atas kertas. Pengawasan yang ketat, inspeksi rutin, hingga sanksi tegas bagi pelanggar adalah langkah yang wajib dilakukan. Namun pengawasan saja tidak cukup. Pemerintah juga harus mendorong budaya apresiasi—misalnya dengan memberikan penghargaan bagi perusahaan yang konsisten menerapkan K3.
Dari sisi dunia usaha, komitmen internal jauh lebih menentukan. Penerapan K3 seharusnya tidak dipandang sebagai biaya tambahan, melainkan bagian dari strategi bisnis. Pelatihan rutin, penyediaan alat pelindung diri yang layak, serta keterlibatan pekerja dalam menyusun standar keselamatan adalah investasi jangka panjang.
Tantangan terbesar di Kaltim adalah mengubah cara pandang: dari K3 sebagai formalitas menjadi K3 sebagai budaya. Perubahan paradigma ini hanya bisa dicapai jika kesadaran keselamatan ditanamkan sejak dini. Pendidikan vokasi, universitas, hingga pelatihan kerja harus menyisipkan aspek K3 dalam kurikulumnya.
Lebih jauh, budaya K3 harus hidup di semua lini: dari manajemen puncak hingga pekerja lapangan. Sosialisasi berkelanjutan, kampanye publik, hingga integrasi K3 dalam kegiatan komunitas bisa menjadi cara efektif. Dengan begitu, pekerja akan terbiasa berpikir aman, bertindak aman, dan saling mengingatkan.
Kaltim sedang berada di titik penting sejarahnya. Dengan hadirnya IKN, provinsi ini akan menjadi etalase Indonesia di mata dunia. Keberhasilan pembangunan tidak hanya diukur dari megahnya gedung atau lancarnya proyek infrastruktur, tetapi juga dari bagaimana kita menjaga keselamatan manusia di balik semua itu.
Jika budaya K3 terbangun kuat, Kaltim tidak hanya dikenal sebagai lumbung energi atau pusat pembangunan, tetapi juga sebagai daerah yang menghargai keselamatan, kesehatan, dan martabat pekerjanya. Sebaliknya, jika K3 terus dianggap formalitas, maka kecelakaan kerja akan terus menghantui, menimbulkan kerugian yang lebih besar daripada manfaat pembangunan itu sendiri.
Sudah saatnya Kaltim menegaskan komitmen bahwa keselamatan bukan pilihan, melainkan kewajiban. MK3 harus keluar dari status formalitas menuju budaya yang mengakar dalam dunia kerja.
Dengan begitu, pembangunan Kaltim tidak hanya berdiri di atas fondasi beton dan baja, tetapi juga fondasi kemanusiaan yang kokoh. Sebab pada akhirnya, apa arti kemajuan jika para pekerja yang membangunnya tidak kembali dengan selamat ke rumah masing-masing? (*Mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat Prodi Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman)