Search

Mantan Filsuf yang Anti Filsafat

Penulis. (Istimewa)

Oleh: Dr. Muhsin Labib*

Tulisan teman saya yang cerdas, Yudi Sutan Ma’rouf tentang “Ghazali, apakah lebih pantas digelari Hujjatul Islam atau Hujjatul Asy’ariyah” memancing kegemasan saya untuk mengulas tentang ulama sangat tenar ini. Tulisan di bawah tidak membahas gelar tersebut soal tepat atau “lebay”-nya.

Dalam kanvas luas sejarah pemikiran Islam, nama Al-Ghazali kerap dipuja sebagai Hujjat al-Islam, “Pembela Islam.” Kontribusinya dalam meneguhkan ortodoksi Sunni dan merevitalisasi tasawuf tak terbantahkan. Namun, menelisik lebih dalam pada jejak intelektual dan karya-karyanya, kita menemukan narasi yang lebih kompleks, bahkan paradoks: Al-Ghazali, adalah seorang mantan pembelajar filsafat yang akhirnya justru menjadi “pembunuh filsafat” paling efektif dalam tradisi Islam (baca: mainstream).

Advertisements

Meski pada paruh akhir hidupnya menentang filsafat, ia menghabiskan bertahun-tahun mendalami, bahkan menguasai, berbagai mazhab filsafat Yunani, khususnya Peripatetik, yang diwakili oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina (yang kebetulan bukan Sunni). Karyanya Maqasid al-Falasifah (Tujuan Para Filsuf) adalah bukti penguasaannya yang mendalam terhadap pemikiran filosofis.

Perjalanan Intelektual yang Berbelok Arah

Setelah periode eksplorasi filosofisnya, Al-Ghazali mengalami krisis spiritual dan intelektual. Ia merasa bahwa filsafat, dengan penekanannya pada rasionalitas murni, gagal memberikan kepuasan spiritual atau jawaban mutlak atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial. Dari sinilah ia berbelok tajam, merangkul tasawuf dan teologi Asy’ariyah, sebuah mazhab yang cenderung fatalistik dan skriptural, menekankan kemahakuasaan Tuhan di atas segala-galanya.

Pergeseran ini melahirkan karyanya yang paling terkenal sekaligus kontroversial: Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf). Dalam buku ini, Al-Ghazali secara sistematis menyerang 20 doktrin filsuf, tiga di antaranya dianggapnya menyebabkan kekafiran: pandangan mereka tentang keabadian alam semesta, ketidaktahuan Tuhan terhadap partikular, dan pengingkaran kebangkitan jasmani. Ia berargumen bahwa nalar filosofis, jika dibiarkan tanpa batas, bisa mengarah pada kesesatan dan menjauhkan manusia dari kebenaran wahyu.

Pembela Ortodoksi dan Pelayan Kekuasaan

Posisi Al-Ghazali tidak hanya sebatas kritik intelektual. Ia juga adalah pelindung utama teologi Asy’ariyah, yang ia formulasikan secara lebih koheren dalam al-Iqtisad fi al-I’tiqad. Karyanya ini berupaya menjembatani akal dan wahyu, namun dengan penekanan yang jelas pada otoritas wahyu. Ia juga menjadi penyerang gigih terhadap kelompok non-Sunni seperti Syiah Batiniyah (Ismailiyah) melalui karyanya Fada’ih al-Batiniyyah.

Ini bukan kebetulan semata. Al-Ghazali adalah produk dan pelayan politik Dinasti Seljuk dan lembaga madrasah Nizamiyah. Madrasah Nizamiyah adalah instrumen utama untuk mengokohkan teologi Sunni-Asy’ari sebagai aliran dominan setelah periode kontroversi Mihnah (inkuisisi) di masa Abbasiyah. Dalam konteks ini, Al-Ghazali berfungsi sebagai teoretikus utama yang memberikan legitimasi keagamaan bagi kekuasaan yang ada.

Sebuah Bantahan dari Barat: Ibnu Rusyd dan Tahafut al-Tahafut

Langkah Al-Ghazali dalam “membunuh” filsafat tidak dibiarkan tanpa perlawanan. Jauh di ujung barat dunia Islam, di Andalusia, muncul seorang filsuf agung bernama Ibnu Rusyd (Averroes), seorang pengikut setia tradisi Peripatetik. Sekitar satu abad setelah Tahafut al-Falasifah diterbitkan, Ibnu Rusyd merasa terpanggil untuk membela filsafat dari apa yang ia anggap sebagai kampanye hitam dan kesalahpahaman Al-Ghazali.

Ia membalas serangan Al-Ghazali dengan menulis karya monumental, Tahafut al-Tahafut (Kerancuan dalam Kerancuan).

Dalam karyanya ini, Ibnu Rusyd secara sistematis membongkar argumen-argumen Al-Ghazali satu per satu. Ia tidak hanya membantah tuduhan kekafiran yang dilontarkan Al-Ghazali terhadap para filsuf, tetapi juga menunjukkan bahwa Al-Ghazali seringkali salah memahami atau menyederhanakan posisi filosofis yang ia kritik.

Misalnya, terkait tuduhan Al-Ghazali bahwa filsuf mengklaim alam itu qadim (kekal tanpa permulaan) seperti Tuhan, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa filsuf tidak memaksudkan kekekalan absolut seperti Tuhan, melainkan alam yang senantiasa ada dalam hubungan kausal dengan Tuhan, bukan diciptakan dari ketiadaan mutlak. Ia juga berargumen bahwa klaim Al-Ghazali tentang Tuhan tidak mengetahui hal-hal partikular adalah salah tafsir; filsuf meyakini Tuhan mengetahui partikular, namun dengan cara yang berbeda dan lebih sempurna dari pengetahuan manusia.

Bagi Ibnu Rusyd, filsafat dan agama adalah dua jalur yang berbeda namun sama-sama sah untuk mencapai kebenaran. Ia berupaya menunjukkan adanya harmonisasi antara filsafat dan syariat, menegaskan bahwa akal dan wahyu tidaklah bertentangan, melainkan saling melengkapi. Karyanya adalah upaya heroik untuk mengembalikan legitimasi filsafat di hadapan kritik teologis yang kian dominan.

Warisan yang Terbelah: Filsafat dalam Genggaman Syiah

Meskipun bantahan Ibnu Rusyd sangat logis dan sistematis, pengaruhnya di dunia Islam timur—tempat Al-Ghazali berkuasa secara intelektual—tidak sekuat Al-Ghazali. Filsafat di wilayah Sunni secara umum memang mengalami kemunduran signifikan setelah Al-Ghazali. Ironisnya, pemikiran Ibnu Rusyd justru lebih berpengaruh di dunia Barat, membantu memicu Abad Pencerahan di Eropa.

Namun, seruan Al-Ghazali untuk menjauhi filsafat tidak digubris oleh semua pihak di dunia Islam. Komunitas Syiah, yang sejak awal kehadirannya terpinggirkan dan ditindas oleh para penguasa berjubah khalifah seperti Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, dan selalu mengambil sikap oposisi, justru melihat filsafat sebagai alat pembebasan intelektual. Mereka tidak terikat pada ortodoksi yang dibela Al-Ghazali. Maka, mereka semakin rajin mengembangkan filsafat dalam “stoa” dan “halaqah” (forum) keilmuan mereka, melestarikannya bahkan hingga berabad-abad kemudian.

Dari dedikasi inilah terlahirlah aliran sintetik Hikmah Muta’aliyah (Filsafat Transenden) di tangan Mulla Sadra. Aliran ini bukan sekadar melestarikan, melainkan mengoreksi sekaligus mengapresiasi berbagai tradisi filosofis sebelumnya: Peripatetik yang pluralistik (Al-Farabi, Ibnu Sina, Bahmanyar, Ibnu Rusyd sendiri), Monisme Ibnu Arabi yang mistis, dan Iluminasionisme Syuhrawardi. Yang lebih fundamental, Mulla Sadra menjadikan Nahjul Balaghah—kumpulan khotbah, surat, dan ucapan Imam Ali bin Abi Thalib—sebagai inspirasi fundamentalnya, menunjukkan bahwa filsafat bagi Syiah terjalin erat dengan sumber-sumber keagamaan mereka.

Sebuah Perpisahan yang Menyeluruh dan Perlawanan Intelektual

Maka, julukan “mantan filsuf yang membunuh filsafat” mungkin adalah penggambaran yang paling akurat untuk Al-Ghazali. Ia adalah seorang yang pernah berlayar di samudra filsafat, namun memilih untuk kembali ke pelabuhan teologi dan tasawuf yang lebih “aman,” lalu menutup gerbang pelabuhan itu rapat-rapat bagi kapal-kapal filsafat lainnya. Warisannya adalah sebuah perpisahan yang mendefinisikan ulang batas-batas pemikiran dalam Islam selama berabad-abad.

Namun, sejarah intelektual tidak pernah monolitik. Di tengah upaya Al-Ghazali untuk “mematikan” filsafat, muncul Ibnu Rusyd sebagai pembela gigih, yang berani menantang otoritas Al-Ghazali dan mencoba menyelamatkan filsafat dari tuduhan sesat.

Bila Ibnu Rusyd tidak berhasil mengalahkan opini Al-Ghazali di dunia Islam timur, umat Muslim Syiah justru menjaga dan mengembangkan tradisi filosofi, hingga melahirkan sintesis agung Hikmah Muta’aliyah. Imam Khomeini dan Thabathabai adalah alumnus terkemuka Hikmah Muta’aliyah yang telah mencetak dua generasi pemikir handal seperti Mutahhari, Haeri Yazdi, Hasan Zadeh Amoli, Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Syed Hossein Nasr, Henry Corben hingga Mohammad Leganhausen dan Gholam Reza Fayyazi.

Ini menunjukkan bahwa filsafat tidak pernah mati sepenuhnya, melainkan menemukan jalan baru dan rumah baru di tengah-tengah tantangan dan perdebatan. (*Cendekiawan Muslim)

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
Advertisements
POPULER BULAN INI
Advertisements
Advertisements
INDEKS BERITA