Oleh: Muhammad Bayat*
Perjuangan pasca 7 Oktober dapat dianggap sebagai perjuangan antara pembangun tatanan baru dan pelestari tatanan lama. Di medan konfrontasi antara Poros Perlawanan yang dipimpin Republik Islam Iran dan poros Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan rezim Zionis, apa yang terjadi tidak menunjukkan situasi “perang yang meluas” melainkan bentrokan yang berfluktuasi antara “perang terbatas” atau “perang asimetris.” Sebelumnya, Iran dan rezim Zionis saling berhadapan di “wilayah abu-abu” dan dengan menganut prinsip “perang hibrida”.
Mengandalkan sekutu regionalnya, Iran telah menciptakan semacam “cincin api” di sekitar Palestina yang diduduki, yang disebut sebagai kebijakan “kesatuan wilayah” selama “Pertempuran Badai Al-Aqsa.” Di sisi lain, rezim Zionis, yang mengandalkan badan intelijen dan keamanannya, yaitu Mossad, Aman, dan Shin Bet, telah melancarkan kampanye teror dan sabotase yang meluas di seluruh geografi perlawanan, yang puncaknya dapat dilihat dalam pembunuhan para syuhada Zahedi, Ismail Haniyeh, Fawad Shaker, dan Sayyid Hassan Nasrallah.
Kendati pertempuran ini telah berlalu 580 hari, lembaga pemikir dan outlet media Barat, tanpa menyebut capaian perlawanan dan sisa kapasitas blok kekuatan ini untuk menghadapi rezim yang menduduki Yerusalem, berupaya menyorot narasi bahwa dalam perang terkini, rezim Zionis mampu mengubah keseimbangan regional demi keuntungannya sendiri. Terlepas dari narasi palsu ini, dalam sisa catatan ini kita akan mencoba melihat status perlawanan dan prospek ketertiban regional.
Tatanan Baru Netanyahu Menjadi Kenyataan?
Pada 4 Mei 2025, Kabinet Keamanan Israel, setelah menyetujui rencana operasi Kereta Perang Gideon, mengumumkan bahwa mereka berupaya merebut Gaza dan membangun kehadiran jangka panjang di jalur Palestina ini.
Meskipun ada peringatan dari Eyal Zamir, kepala staf rezim, mengenai nasib para tahanan Zionis, Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich meminta para Zionis untuk menerima istilah “pendudukan”. Hampir satu setengah tahun yang lalu, Benjamin Netanyahu, bersama dengan Yoav Gallant dan Benny Gantz, membentuk kabinet darurat nasional untuk menghadapi ancaman dari Hamas dan semua elemen perlawanan. Pada awal perang, rezim Zionis memperkenalkan “penghancuran Hamas,” “pembebasan tahanan Israel,” dan “perubahan geopolitik Gaza” sebagai tujuan utama perang.
Sekarang, beberapa bulan setelah pengumuman tujuan perang ini, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tujuan visioner ini belum terwujud. Menurut New York Times, batalyon Hamas telah direorganisasi dengan cepat dan siap bertindak melawan pasukan Israel.
Masih ada 53 tahanan Israel di Gaza, dan pada akhirnya, rakyat Gaza menolak meninggalkan tanah air mereka meskipun ada tekanan dari Trump dan rezim Zionis. Kini, dengan disetujuinya pendudukan jangka panjang Gaza oleh tentara Israel, tampak bahwa Netanyahu dan sekutu sayap kanannya tengah menjalankan kebijakan “krisis berkelanjutan” dengan tujuan untuk tetap berkuasa, alih-alih mengejar tujuan perang.
Sementara Hamas dan Jihad Islam terus memiliki kehadiran yang dinamis dan konstruktif di Gaza dan Tepi Barat, Hizbullah di Lebanon, Ansarullah di Yaman, dan Pasukan Mobilisasi Populer di Irak. Fakta ini berarti bahwa wajah kawasan tersebut belum berubah dan Bibi—panggilan untuk Netanyahu—belum mampu membangun “tatanan baru” di kawasan tersebut.
Mengapa Perlawanan Tidak Dapat Dihancurkan?
Salah satu narasi yang direkayasa dan palsu dari media arus utama adalah diperkenalkannya anggota Poros Perlawanan sebagai “pasukan proksi” Iran di Asia Barat. Pada hakikatnya, konsep ini berakar pada perang saudara Eropa dan persaingan antara kerajaan-kerajaan dan negara-bangsa yang baru berdiri di wilayah ini.
Kelompok non-pemerintah yang menjadi anggota jaringan perlawanan tidak boleh dianggap sebagai kekuatan proksi, melainkan sekutu alami Iran yang berakar pada sejarah, masyarakat, dan budaya kawasan. Memahami realitas semacam itu mendiskreditkan dan meminggirkan spekulasi propaganda atau klaim tak berdasar apa pun mengenai sifat hubungan antara elemen-elemen Poros Perlawanan.
Pertempuran Badai Al-Aqsa sebagai titik balik dalam konfrontasi antara Poros Perlawanan dan rezim Zionis, seperti tindakan anti-sistemik lainnya, telah membuka jendela peluang dan ancaman baru bagi kekuatan regional besar dan menengah. Pertempuran ini tidak hanya memengaruhi persamaan militer dan keamanan kawasan, tetapi juga membuka jalan bagi perkembangan politik dan geopolitik mendalam yang mendefinisikan kembali posisi para aktor dalam tatanan internasional dan regional baru.
Peristiwa-peristiwa seperti jatuhnya rezim sah Bashar al-Assad di Suriah, terbunuhnya sejumlah tokoh terkemuka seperti Sayyid Hassan Nasrallah, Sekretaris Jenderal Hizbullah, dan Ismail Haniyeh, Kepala Politbiro Hamas, serta terbunuhnya sejumlah panglima dan tokoh politik-ekonomi Poros Perlawanan, semuanya mengakibatkan kerusakan pada Poros Perlawanan.
Tetapi kejadian-kejadian yang disebutkan di atas bukanlah keseluruhan cerita konfrontasi Iran-Israel. Di tengah-tengah pertempuran, ada titik-titik tinggi (seperti pengusiran tentara Israel dari Lebanon selatan atau kekalahan kaum Zionis dalam perang 33 hari) atau titik-titik rendah (seperti terbunuhnya para syuhada perlawanan).
Selain itu, serangan terus-menerus oleh angkatan udara Israel terhadap infrastruktur militer dan persenjataan kelompok perlawanan di Lebanon, Irak, dan Suriah telah menunjukkan pendekatan agresif rezim Israel selama periode ini. Namun, perkembangan ini membuka jalan bagi solidaritas yang lebih besar di antara negara-negara Islam untuk mengekang rezim Zionis.
Sebaliknya, Poros Perlawanan, yang sebelumnya berusaha memaksakan perang gesekan terhadap rezim Zionis dengan strategi Cincin Api dan Kesatuan Medan-medan menghadapi tantangan serius. Strategi-strategi ini, yang dirancang untuk menciptakan tekanan militer, keamanan, ekonomi, dan psikologis terhadap rezim pendudukan, melalui koordinasi di antara kelompok-kelompok perlawanan di Lebanon, Palestina, Irak, dan Yaman, berupaya membuka jalan bagi pelemahan bertahap dan akhirnya keruntuhan rezim Zionis.
Realitasnya adalah bahwa tujuan akhir rezim, yaitu penghancuran total para anggota Poros Perlawanan, tidak tercapai, dan kelompok-kelompok ini mampu bergerak untuk memperbaiki kerusakan dan mempersiapkan diri menghadapi babak baru bentrokan dengan CENTCOM dan rezim Zionis, sembari tetap bertahan secara struktural.
Kesimpulan
Pembunuhan taktis atau sabotase sesekali belum tentu menghasilkan keuntungan strategis. Meskipun kaum Zionis menjalankan strategi “mati dengan seribu belati,” tapi kebijakan tersebut sejauh ini gagal memengaruhi semua komponen kekuatan perlawanan. Realitasnya adalah bahwa dalam menghadapi rezim Zionis, perlu menggunakan semacam lensa kaum realistis untuk mengidentifikasi dan menghadapi ancaman Israel.
Barat berupaya menciptakan kondisi agar rezim Zionis dapat menjadi mata rantai dalam kebijakan Barat di kawasan Indo-Pasifik dan Euro-Atlantik dengan meminggirkan koridor Satu Sabuk, Satu Jalan dan mengoperasionalkan koridor IMAC.
Oleh karena itu, dalam salat Jumat Nasr, Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran Sayyid Ali Khamenei mengumumkan bahwa tujuan Barat dalam memperkuat Israel adalah untuk mengubah rezim ini menjadi pintu gerbang ekspor energi sekaligus mengimpor barang dan teknologi Barat ke kawasan tersebut.
Untuk melawan pelaksanaan rencana Zionis Barat ini, Iran beserta anggota Poros Perlawanan dan kekuatan revisionis lainnya harus menghentikan proses reorganisasi tatanan Timur Tengah demi kepentingan Amerika Serikat dan rezim Zionis. Memahami persaingan geostrategis antara AS-Tiongkok-Rusia akan memberi Teheran kesempatan untuk secara bertahap mengubah persamaan kekuatan yang mendukung perlawanan, sekaligus memperkuat keseimbangan dan “pencegahan” terhadap Israel. (*Peneliti Hubungan Internasional)
Sumber: Mehrnews.com