Falasi: Menyanjung UEA, Menghina Yaman (3)

Listen to this article

Oleh: Dr. Muhsin Labib*

Jumlah negara dan bangsa di dunia kini telah mencapai 200-an lebih. Jika diletakkan dalam bagan matriks kemakmuran dan kehormatan, maka negara-negara atau bangsa-bangsa itu dapat diklasifikasi sebagai berikut.

Pertama, negara/bangsa makmur tapi tidak terhormat. Negara/bangsa semacam ini rata-rata dihuni oleh kawanan konsumeris, glamouris, rutin mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan gratis, punya jaminan sosial, dan sebagainya. Tapi, seiring dengan semua kemakmuran itu, negara/bangsa tersebut tak punya kedaulatan. Haluan politiknya mengekor pihak lain. Proses sosial politiknya diremote sepenuhnya oleh pihak asing.

Adapun, kedua, negara/bangsa tidak makmur tapi terhormat dihuni suatu entitas sosial yang rela hidup sederhana, tak punya mal, dan kotanya tidak gemerlap atau dihiasi dengan gedung-gedung pencakar langit. Merek kendaraan roda empatnya juga itu-itu saja. Walau begitu, mereka tidak rela secuil pun jadi kaki tangan, apalagi budak, bangsa lain. Determinasi politiknya kokoh. Pemerintahnya berani mengambil keputusan besar demi kemandirian di segala bidang dalam jangka lama. Embargo, sanksi, dan ancaman perang tidak membuatnya gentar sedikit pun.

Ketiga, negara/bangsa tidak makmur juga tidak terhormat yang niscaya dipimpin para koruptor atau oknum yang lembek dan tidak sensitif terhadap kehormatan diri, bangsa, dan rakyatnya. Politiknya membudak. Konsep dan praktik ekonominya amburadul. Aturan hukumnya jauh dari berwibawa sehingga cenderung diperalat penguasa.

Rata-rata rakyatnya terjangkit virus individualisme yang menjadi biang keladi kesenjangan sosial berujung anarkisme dan aksi kriminalitas. Sebagian mereka terkurung dalam cangkang hedonisme, terobsesi jumlah pembeo dan follower yang selalu memuji demi mendadak seleb dan memenuhi isi perut. Sedangkan sebagian lagi sibuk berklenik-ria demi lolos dari jeratan masalah sehari-hari. Sementara sebagian besar lainnya jatuh sebagai korban ketidakadilan dan keserakahan segelintir taipan dan korporat asing yang selalu diuntungkan aturan hukum hingga iming-iming investasi yang tidak waras.

Keempat, negara/bangsa makmur dan terhormat dikendalikan oleh pemimpin nan bijak dan dihuni oleh rakyat yang bajik. Mungkin kategori negara-bangsa seperti ini masih berbentuk utopia. Tapi, sejumlah negara/bangsa di dunia punya potensi dan langkah menuju perwujudannya di masa depan yang tidak lama lagi.

Di sini, dapat dipahami bahwa kemakmuran dan kehormatan tidak selalu berkorelasi, apalagi secara paralel. Keduanya bisa saling terpisah atau bahkan saling meniadakan. Namun begitu, menjadi terhormat jauh lebih mudah dan manusiawi ketimbang menjadi makmur, apalagi di tengah kepungan sistem ekonomi dan politik global yang sadis seperti sekarang ini.

UEA Makmur Tapi….

UEA memang makmur dan maju. Tapi, negara liliput ini tak punya sejarah kemerdekaan dan perlawanan vis-a-vis penjajah. Entitas federal ini dibentuk di bawah hak pertahanan dan urusan luar Kerajaan Britania Raya pada abad ke-19.

Negara liliput ini terbentuk dari enam monarki mini, yaitu Abu Dhabi, Ajman, Fujairah, Sharjah, Dubai, dan Umm al-Qaiwain pada 1971 dan 1972, Ras al-Khaimah bergabung sebagai anggota.

Meski punya presiden dan aparatur kenegaraan lainnya, UEA bukan republik dan mutlak tidak demokratis. Struktur kekuasaannya adalah monarki yang tampil seolah sebuah negara modern. Ibaratnya, negara tiruan. Presiden UEA tidak definitif menurut kelaziman sebuah negara modern yang demokratis, melainkan hanya sebatas sebutan (yang pada praktiknya adalah raja).

Konstitusi yang berlaku UEA sepenuhnya mengikuti selera sang “presiden”. Karenanya wajar jika yang berlaku adalah aturan yang bernuansa diskriminatif. Seperti larangan menyebarkan agama lain (selain Islam dan Kristen) melalui berbagai media karena dianggap sebagai bentuk dakwah. Terdapat sekitar 35 Gereja di seluruh negeri, satu kuil Hindu di wilayah Bur Dubai, satu Sikh Gurudwara di Jebel Ali, dan sebuah kuil Buddha di al-Garhoud. (Wikipedia).

Yaman Miskin, Tapi…

Sebaliknya, Yaman termasuk negara gagal atau digagalkan, miskin atau dimiskinkan, dan terbelakang atau diterbelakangkan. Tapi Yaman negara republik, demokratis, dan merdeka dari penjajahan serta siap melawan agresi sekalipun harus bermandikan darah, peluh, dan air mata.

Wilayah termasyhur di Yaman, Aden, telah dan masih menjadi fokus perhatian banyak negara yang ingin mendirikan pangkalan di Laut Merah dan Teluk Arab. Aden menjadi wilayah strategis untuk menguasai Samudra Hindia. Untuk mendapatkan kontrol ekonomi dan politik di wilayah itu, tak terhitung lagi banyaknya kekuatan dan entitas kolonial yang datang ke sana.

Pada 26 Februari 1548, Dinasti Utsmaniyah merebut Aden, dipimpin Suleiman yang Agung, untuk menjadikannya pangkalan serang terhadap kapal niaga Portugis di pantai barat India. Tapi Dinasti Utsmaniyah gagal melawan Portugis dalam Pengepungan Diu pada September 1538. Namun, setelah kembali ke Aden yang dibentengi 100 artileri, pasukan Suleiman Pasha mampu menguasai seluruh kawasan Yaman, termasuk Sanaa.

Di antara kekuatan kolonial terpenting adalah monarki Inggris yang melakukan beberapa langkah pendahuluan untuk menduduki Aden. Pada awalnya, Inggris mengirim Kapten Haines, seorang perwira angkatan laut, ke wilayah Teluk Aden pada 1835. Kedatangannya untuk mencari tahu, apakah kawasan itu layak dijadikan pangkalan angkatan laut dan depot kapal Inggris Haines lalu mengindikasikan dalam laporannya bahwa Aden perlu diduduki lantaran posisi strategisnya.

Kesultanan Lahj kemudian menguasai Aden hingga 1839 karena harus kehilangan pelabuhan Aden yang kembali dikuasai Kerajaan Inggris pada 19 Januari 1839. Inggris perlu memiliki alasan untuk membenarkan pendudukannya di Aden. Akibatnya, terjadi insiden yang sengaja dieksploitasi (Inggris) antara Lahj dan Aden dengan menghasut penjarahan kapal. Pada 1837, saat Dinasti Lahj masih berkuasa, terjadi peristiwa tenggelamnya kapal Inggris “Daria Dowlat” di dekat pantai Yaman. Sultan Lahj, al-Abdali menolak untuk merugikan kedaulatan Yaman, sehingga ia setuju untuk membayar kompensasi. Namun Inggris memang tidak bermaksud untuk mendapatkan kompensasi apa pun. Tujuannya hanyalah menduduki dan memaksakan kendali militernya atas Aden berikut pelabuhan strategisnya. Inggris menolak menerima kompensasi dan menuntut Aden didudukinya sebagai kompensasi atas apa yang diklaimnya bahwa para nelayan Yaman menjarah isi kapal “Daria Dowlat” seraya bersiap untuk mengerahkan kekuatan militer.

Pada 22 Januari 1838, Sultan Lahj, Muhsin bin Fadl al-Abdali menandatangani perjanjian penyerahan 194 kilometer persegi (75 mil persegi) pada kepentingan koloni Aden, di bawah tekanan Inggris, sebagai imbalan menghapus utang, yang konon jumlahnya tidak lebih dari 15.000 unit (mata uang kesultanan saat itu), dengan syarat dirinya tetap menjadi perwalian rakyat.

Pada tahun yang sama, 1839, penguasa Inggris di India menyiapkan beberapa skenario untuk merebut Aden. Pada 16 Januari, Kapten “Hines” mengerahkan sejumlah kapal perang untuk pelabuhan Sira. Namun, tak lama berselang, barisan kapal Inggris mundur setapak demi setapak. Kemungkinan langkah Inggris ini hanyalah uji kemampuan para pejuang perlawanan Yaman, yang tentu saja memiliki senjata primitif, termasuk beberapa meriam tradisional yang berdiri di Kastil Sirah dan menghadap pelabuhan kuno Aden.

Tiga hari kemudian, pada 19 Januari 1839, artileri armada Inggris mengebom Aden. Militer kesultanan tidak berdaya menghadapi gempuran sengit ini sehingga Aden pun jatuh ke tangan Inggris.

Penguasaan Mesir atas Yaman dimulai setelah jatuhnya Aden ke tangan Inggris. Khususnya saat Haines memulai pengerjaan sejumlah proyek di wilayah selatan, di bawah pengaruh orang Mesir. Mereka didesak untuk memberontak melawan Mesir dengan diiming-imingi hadiah dan gaji besar. Namun, kondisi berkembang dengan cepat setelah terbentuknya aliansi kekuatan besar melawan Muhammad Ali Pasha, dan berakhir dengan ditarik mundurnya pasukan Mesir dari Yaman pada 1840. Inggris sendiri memiliki kemampuan untuk menguasai seluruh Yaman selatan. Menjelang pendudukannya di Aden, Inggris mulai menerapkan kebijakan pengamanan di wilayah itu guna memastikan stabilitas Aden demi tercapainya kepentingan strategis, komersial, dan maritimnya.

Merebut Aden bukanlah tujuan utama Inggris di wilayah tersebut. Perebutan itu hanyalah titik simpul bagi ekspansi dan afirmasi terhadap pengaruh Inggris di selatan Yaman dan Laut Merah serta di pantai timur Afrika. Selain pula untuk mengenyahkan bayang-bayang kekuatan lain.

Agresi kerajaan Saudi dan Emirat telah memasuki tahun kedelapan. Namun, akibat berdarah dari agresi brutal Arab Saudi cs ini terus berlanjut hingga detik ini.

Sejumlah negara, organisasi Barat, serta entitas rezim “Arab dan Islam”, terus mengulang-ulang narasi bahwa apa yang terjadi di Yaman hanyalah kecamuk perang saudara internal di antara partai-partai politik Yaman yang berseteru. Dengan demikian, keputusan dan posisi organisasi “internasional”, termasuk Dewan Keamanan PBB, yang sepenuhnya dicucuk hidungnya oleh para pihak yang melakukan agresi, didasarkan pada hipotesis dan aturan tersebut.

Terdapat dramatisasi kasar yang diadopsi oleh sejumlah intelektual dan birokrat yang melayani kepentingan agresor Saudi dan UEA pada masa pra agresi. Mereka berupaya melunakkan kosa kata “agresi”, dengan mengusung klaim “pemerintah yang sah untuk negara yang legitim”. Yang dimaksud adalah rezim di tempat pengasingan, atau di hotel-hotel mewah Riyadh, atau istilahnya, tanah-tanah yang dibebaskan, atau pemerintahan kudeta di Sana’a.

Kosakata ini ibarat pedang bermata dua. Kembalinya konten media yang menipu dan demagogis memiliki efek sementara pada audiens dan pendengar. Namun yakinlah, itu cuma bertahan sebentar saja. Serangan balik akan segera datang dan menghancurkan konstruksi palsu di benak audiens yang dijejalkan dari para demagog, saat konten itu terbukti sesat dan manipulatif.

Realitas dan fakta di lapangan adalah tolok ukur sinambung bagi informasi dan interpretasinya. Di sini, ketelanjangan para “intelektual” terungkap. Mereka akan berubah menjadi badut yang mudah dibayar untuk merayakan apa saja tanpa peduli benar-salah. Mereka akan jatuh, di mata para pengamat yang waras, bak dedaunan di musim gugur.

Setelah bertahun-tahun Yaman diagresi brutal dan keji oleh dua rezim monarki yang arogan itu, apakah rakyat Yaman yang pemberani dan mulia itu tidak berhak untuk dihargai dengan martabat dan kebanggaan yang sepadan dengan pengorbanan besarnya? (*Cendekiawan Muslim)

Sumber Foto: AFP Via Media Indonesia

Kunjungi Berita Alternatif Di :

Bagikan

BERITA TERKAIT

PALESTINA
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA